Bab 4 | Rahasia

61 9 3
                                        

Tidak ada yang abadi di dunia. Jadi nikmatilah hidup dengan terus bersyukur tanpa adanya keluhan. Karena dunia memang tempatnya ujian, jadi tidak heran kamu merasakan sedih dan kecewa.

-Menyapa Rindu-

Suasana pagi terasa begitu berbeda ketika Rindu tidak bisa menikmati sarapannya. Semalaman ia tidak bisa tidur karena terus menangis. Bukan karena Candra menamparnya, tapi lebih kepada Bundanya yang entah kenapa tiba-tiba memintanya menikah muda. Ia bahkan belum terpikirkan akan rencana menikah di masa depan seperti apa, pacar saja tidak punya, bagaimana menghayal akan sebuah pernikahan.

"Cepat selesaikan sarapannya, Ayah ada rapat setelah ini." Rindu hanya mengangguk malas membalas pernyataan Candra.

"Jangan sampai telat makan siangnya." Rindu yang sudah rapi dengan seragam sekolahnya mencium telapak tangan Nada lalu meraih bekal makanan yang biasa Bundanya siapkan untuk dirinya.

"Maafkan Bunda." Rindu yang akan beranjak pergi menghentikan langkah lalu tersenyum dan memeluk wanita paruh baya di depannya singkat.

***

"Ayah tidak akan minta maaf seperti apa yang dilakukan oleh Bunda." Rindu yang sendari tadi diam memperhatikan jalanan dari kaca jendela merasa tidak tertarik membalas. Meksipun ia tidak terlalu memikirkan tamparan itu, tapi ada rasa sedih akan sikap Ayahnya yang berlaku kasar kepadanya. Padahal selama ini, Rindu begitu membangga-banggakan Candra.

"Kamu harus menuruti apa yang di katakan Bunda, kamu harus menikah." Rindu menarik napas jengah. Ia mengalihkan pandangan menatap Candra kesal.

"Kamu tau kan, Bunda lebih menyayangi kamu melebihi Ayah?" Pria paruh baya yang fokus pada menyetirnya melirik sekilas ke arah Rindu.

"Jadi, keputusan yang diambil oleh Bunda itu, semata-mata untuk kebaikan kamu. Untuk masa depan kamu."

"Kebaikan yang bagaimana? Bahkan umur Rindu masih begitu muda untuk menikah, Rindu saja belum bisa masak." Gadis berambut pendek itu mengeluarkan botol minum lalu meneguknya mencoba meredam amarah.

"Bunda sakit. Sakit parah." Rindu yang baru saja selesai minum langsung terbatuk saking kagetnya akan pernyataan Candra.

"Ayah bohong kan? Paling juga sakit kepala atau kelelahan seperti biasanya." Rindu menatap lekat Candra yang terlihat menghela napas panjang.

"Bunda terkena kanker darah stadium akhir." Rindu menggelengkan kepala mencoba tidak percaya akan candaan Candra yang sudah kelewat batas, "kamu tau kan, dari 1 tahun yang lalu Ayah dan Bunda sering keluar tanpa mengajak kamu, itu karena Ayah dan Bunda pergi ke rumah sakit."

"Kenapa Ayah baru bilang sekarang? Kenapa tidak dari dulu?" Rindu bertanya cepat sebelum Candra kembali memulai penjelasannya.

"Itu karena, Bunda tidak ingin kamu sedih Rindu. Bahkan sekarang, Ayah melanggar janji itu! Karena jika Ayah tidak mengatakan yang sebenarnya, maka sampai kapan pun kamu tidak akan merubah keputusan kamu untuk menikah lebih cepat, dari yang kamu duga." Candra menghentikan laju mobilnya setelah ia menepi. Alasan untuknya rapat tadi hanya semata-mata untuk kepentingannya saat ini, ia ingin berbicara empat mata dengan putrinya.

"Dengar Rindu, bunda melakukan semua ini hanya untuk kamu. Iya, Ayah juga tidak terlalu setuju akan keputusan bunda yang memaksa kamu masuk jurusan MIPA, meksipun bunda tau jika kamu menginginkan masuk kedalam jurusan bahasa. Tapi cara berpikir bunda berbeda dengan kamu, bunda berpikir jika jurusan bahasa tidak memiliki masa depan, bunda terlalu khawatir akan masa depan kamu Rindu. Kamu harus mengerti itu, itu sudah naluri seorang ibu yang tidak ingin terjadi hal buruk kepada putri satu-satunya."

Rindu tidak bisa menahan tangisnya meksipun ia ingin. Tidak pernah terpikirkan oleh dirinya bahwa ternyata selama ini, di balik sikap periang Bundanya, ternyata tersimpan begitu rapih akan penyakit yang Nada derita.

"Sudah 1 tahun Bunda berjuang untuk sembuh, tapi beberapa hari lalu. Dokter mengatakan bahwa Bunda tidak akan lama lagi. Kangker itu sudah terlanjur menyebar karena kami terlambat menyadari, dari dulu bunda selalu susah untuk pergi ke dokter." Rindu menggelengkan kepalanya cepat berbarengan dengan tangisnya yang semakin deras.

"Gak! Ayah bohong! Ini gak akan terjadi! Ayah pasti bohong kan? Ayah cuma mau bujuk Rindu supaya mau menikah kan?"

"Inilah kenyataannya Rindu, alasan bunda merahasiakan ini karena tidak ingin melihat kamu sedih seperti ini! Bunda tau, jika kamu begitu menyayanginya. Bunda mempercepat menjodohkan kamu, karena bunda berpikir jika nantinya kamu memiliki hidup baru maka kamu tidak terlalu sedih ketika bunda pergi, bunda ingin kamu memiliki seseorang yang bisa melindungi dan memberikan rasa nyaman selain kami."

***

Rindu termenung memperhatikan lapangan basket yang penuh akan teman laki-lakinya, berlari kesana kemari menggiring bola basket. Ia tidak memperdulikan ketiga sahabatnya yang sendari tadi memperhatikannya. Hari ini ia sedang berada di samping lapangan basket hanya sekedar duduk setelah ia kecapekan berolahraga.

"Kalo mau ngomong! Langsung aja! Gak usah kayak musuh!" sembur Rindu melirik ke arah Amanda yang berada di sampingnya membenarkan posisi duduk.

"Lo habis putus cinta Rin?" Rindu menautkan kedua alisnya sembari membenarkan anak rambut yang menutupi wajahnya.

"Mereka liat kedua mata lo yang bengkak, Amanda pikir kalo lo, habis putus cinta!" Zahra menjelaskan singkat membuat kebingungan Rindu terjawab.

"Emang kalian pernah liat gue berduaan sama cowok?"

"Gak pernah sih! Tapi, lo kan kalo ada sesuatu! Selalu di sembunyikan!" Amanda mengangguk menyetujui pernyataan Putri, "tapi! Kayaknya Rindu nangis karena baru baca novel deh! Kalian masih inget dulu gak? Waktu Rindu tiba-tiba nangis di kelas, nangisnya kayak liat orang mati!"

Rindu diam. Ia kembali teringat akan kenyataan menyakitkan yang baru saja ia ketahui.

"Bener juga sih, emang Rindu orangnya suka baperan kalo udah ketemu sama yang namanya novel." Amanda menyimpulkan sendiri tanpa mau bertanya apakah memang alasan Rindu menangis karena apa yang ia katakan.

"Gue ke toilet dulu ya, kalian tunggu disini aja." Tanpa mau menunggu jawaban dari teman-temannya, Rindu beranjak dari duduknya lalu meminta izin kepada pak Yanto - guru olahraganya.

Gadis berambut pendek dengan pakaian kaos olahraga merasa bersyukur karena toilet dalam keadaan kosong. Bukan untuk buang air kecil, ia hanya ingin menangis sendiri tanpa ada orang yang tau, terlebih lagi sahabatnya.

Dirasa cukup dan karena beberapa siswa masuk ke dalam toilet. Akhirnya Rindu memutuskan untuk pergi kembali ke lapangan, karena mungkin teman-temannya sedang menunggu.

Rindu membalikkan badan ketika seseorang memanggil namanya dari arah belakang, "ada apa Mpok Nur?"

Wanita paruh baya yang sebagian rambut sudah beruban mendekati Rindu.

"Boleh minta tolong? Bawakan kopi hitam untuk pak Melvin." Rindu memanyunkan bibir, ia kira ada sesuatu yang penting ternyata beban hidup.

"Tolong ya, soalnya Mpok Nur harus ngurus keperluan yang lainnya." Tanpa menunggu jawaban dari Rindu, wanita paruh baya itu menarik tangannya dan membawa Rindu mendekati dapur kantin.

"Belum di kasih gula Mpok." Rindu menautkan kedua alisnya ketika ia memperhatikan wanita paruh baya yang sedang membuatkan kopi untuk Melvin tanpa memasukkan gula.

"Emang gini kalo buat kopi untuk pak Melvin. Pak Melvin itu lebih suka kopi hitam tanpa gula." Rindu yang mendengar hanya mengangguk paham. Ternyata selain tidak bisa tersenyum dan berwajah kaku, gurunya itu juga tidak menyukai hal yang manis. Rindu dapat memastikan jika seseorang yang mau menjadi istri Melvin, mungkin memiliki gangguan mental. Mana ada perempuan waras yang mau menikah dengan manusia aneh seperti Melvin jika bukan memiliki gangguan jiwa.

Ketika wanita paruh baya pemilik kantin pergi, tiba-tiba Rindu terlintas ide brilian. Segera ia meraih kotak kecil yang berisikan garam, tanpa takut ketahuan, Rindu memasukkan beberapa sendok garam kedalam kopi hitam milik Melvin, "rasain pembalasan dendam gue."

🏫

Menyapa Rindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang