Bab 32 | Syok

46 6 0
                                    

Sepintar kamu, tidak akan pernah bisa melawan garis takdir.

-Menyapa Rindu-

Suasana kantin rumah sakit tidak terlalu ramai dan saat ini Rindu duduk termenung menunggu Annisa yang sedang memesan makanan untuk ia makan. Sebenarnya Rindu tidak berselera untuk memakan sesuatu, ia hanya ingin berada dekat dengan bundanya. Hanya itu yang saat ini ia inginkan, tidak ada yang lain.

"Ayo sayang, kita makan." Rindu mendongak menatap Annisa yang sudah membawa makanan. Wanita paruh baya itu duduk dan dengan telaten tangannya mempersiapkan makanan untuk menantunya.

"Bismillah dulu," Annisa mencoba menyuapi Rindu yang sendari tadi diam tidak berniat menyentuh makanannya, "ayo buka mulutnya gadis cantik," karena terus di paksa oleh Annisa, akhirnya Rindu membuka mulut menerima suapan dari ibu mertuanya.

Mendapatkan perlakukan seperti ini, membuat Rindu tidak kuasa menahan air matanya. Ia kembali teringat akan masa-masa Nada dengan sabar menyuapinya saat ia jatuh sakit.

"Kenapa sayang? Kenapa menangis?" Annisa buru-buru meletakkan sendok dan mencoba menenangkan Rindu dengan mengusap kedua pipinya yang basah akan air mata.

"Rindu..." Perkataan gadis berambut pendek itu terhenti ketika kedua matanya menangkap sosok sahabatnya yang baru saja masuk ke dalam kantin.

"Rindu!" Amanda buru-buru berlari menghampiri Rindu yang terlihat menyedihkan dengan kedua mata yang basah.

"Yang kuat ya," gumam Amanda yang sudah memeluk Rindu dengan erat, "gue yakin bunda lo bakalan baik-baik aja."

***

Saat ini Rindu sudah berada di samping Nada, setelah ia makan dengan didampingi sahabat-sahabatnya yang sedikit mengurangi kesedihannya.

"Maaf ya, kalian jadi repot gini." Nada menatap teman putrinya yang sudah membawakan ia buah-buahan dan beberapa makanan ringan.

"Gak apa-apa Tan, Tante udah saya anggap sebagai Mama Amanda sendiri." Amanda mencubit lengan Zahra ketika ia menyadari bahwa gadis pendiam itu terus saja memperhatikan Rindu yang duduk di samping bundanya.

"Apaan sih!" Gumam Zahra tidak suka akan perlakuan Amanda.

Amanda urung membalas pernyataan temannya ketika pintu terbuka dari arah luar dan lebih terkejutnya, sosok yang membuka pintu itu adalah guru kimia-nya.

Rindu berdiri, ia tau bawah saat ini teman-temannya pasti bingung kenapa bisa Melvin berada disini. Tapi untuk saat ini bukanlah waktu yang pas untuk Rindu menjelaskan.

"Saya juga membawakan mukena." Melvin menyerahkan paper bag kepada istirnya setelah Rindu berada di depannya.

"Mas Melvin udah sholat?" Meksipun suaranya pelan dan teman-temannya tidak mendengar. Melvin terkejut akan perlakuan Rindu kepada dirinya, gadis itu terlihat tidak menutup-nutupi hubungan mereka di depan teman-temannya.

"Belum, kalo kamu tidak nyaman saya disini, saya bisa pergi."

"Temani Rindu sholat. Mama dan papa pulang sebentar, sementara ayah sedang bersama dokter." Rindu tidak menunggu jawaban dari suaminya, ia melangkah keluar kamar sembari membawa paper bag yang suaminya bawakan untuknya.

Melvin mengangguk kaku sebelum ia menyusul istrinya. Hal paling penting saat ini adalah menjaga dan menghibur Rindu, entah apa jadinya jika memang status mereka terungkap. Yang jelas dalam pikirannya hanya tentang istrinya.

***

Zahra mendorong pundak Amanda pelan yang berada di sampingnya. Mereka bertiga sudah duduk di depan kamar inap Nada sembari menunggu Rindu yang tidak kunjung datang setelah gadis itu pergi bersama guru kimia mereka. Sementara maksud dari mendorong pundak Amanda, bermaksud agar gadis itu bertanya kepada wanita paruh baya yang mereka temui di kajian. Lebih tepatnya Annisa yang dulunya mengaku sebagai sahabat Nada. Zahra bermaksud bertanya akan status Melvin yang tiba-tiba berada di sini dan terlihat dekat dengan Rindu. Padahal mereka di sekolah seperti tikus dan kucing.

"Tante," Annisa yang sedang berbicara dengan suaminya mengalihkan pandangan menatap Amanda yang akhirnya menuruti kemauan Zahra.

"Saya boleh tanya?" Zahra dan Putri mencoba mempertajam indra pendengaran.

"Kalo boleh tau pria yang bersama Rindu, itu siapa ya Tan?" Amanda terasa susah menelan ludahnya sendiri. Tiba-tiba ia gugup ketika beradu pandang dengan Annisa.

"Dia anak Tante." Pernyataan dari wanita paruh baya disampingnya membuat ketiga gadis itu membeku di tempat.

"Anak?" Tanya Putri tidak percaya. Pikirannya melayang jauh ketika ia mengatakan hal buruk tentang Melvin kepada Annisa di masjid setelah kajian.

"Jadi selama ini mereka kenal deket?" Amanda memelankan suaranya sembari menatap kedua temannya bergantian, "pak Melvin sebenarnya udah kenal Rindu sebelum kita? Dan dia di sekolah bersikap profesional gitu?" Amanda menganggap bahwa Rindu dan Melvin sudah saling kenal karena kedua orang tua mereka bersahabat dan ketika di sekolah, Melvin bersikap profesional kepada Rindu meksipun ia tau bahwa mereka saling kenal dan tidak membeda-bedakan.

"Kayaknya sih, gue tiba-tiba pusing." Zahra meminum air putih yang ia beli tadi di kantin.

"Rindu datang," Amanda yang menyadari keberadaan Rindu buru-buru menutupi keterkejutannya akan fakta yang tidak pernah ia duga sama sekali.

"Itu Rindu?" Putri menyipitkan mata mencoba mengenali temannya, karena gadis yang berjalan beriringan dengan Melvin mengenakan gamis berwarna biru dan jilbab pasmina berwarna senada.

"Dia pakai jilbab?" Zahra sama bingungnya seperti Amanda yang baru menyadari jika penampilan Rindu berubah.

"Masya Allah, cantik banget putri Mama." Annisa beranjak dari duduknya sembari menangkup wajah cantik menantunya yang sudah mengenakan jilbab. Sementara Melvin yang tadi datang bersama istrinya, langsung duduk di samping Papanya.

Belum sempat Annisa memuji kecantikan menantunya, tiba-tiba dokter dan perawat berlari ke arah mereka.

"Ada apa? Apa yang terjadi?" Annisa dan Rindu segera melangkah mendekat ketika dokter sudah masuk kedalam kamar inap Nada.

"Bunda," panggil Rindu dengan suara yang tercekat ketika Nada tidak sadarkan diri dan grafik yang berada di samping berjalan rendah, atau nyaris lurus.

"Sebaiknya kalian menunggu diluar," Mendengar pernyataan dari Perawat, Candra yang sendari tadi menemani istrinya dan memanggil dokter ketika Nada tidak sadarkan diri beranjak berdiri mendekati putrinya.

"Bunda akan baik-baik saja," Candra mendekap erat Rindu sembari menuntun keluar.

"Bunda bangun, lihat Rindu. Rindu sudah mengenakan jilbab." Gadis berjilbab itu menyentuh kaca yang memisahkan dirinya dan Nada. Ia tidak menahan tangisnya lagi ketika melihat orang yang disayanginya tidak sadarkan diri.

"Bunda, Rindu mohon jangan pergi. Jangan pernah meninggalkan Rindu sendiri disini," gumam Rindu ditengah-tengah tangisnya yang semakin deras. Sementara Candra hanya diam memeluk putrinya mencoba menguatkan, padahal dirinya bahkan lebih lemah dari yang terlihat. Meksipun ia tidak menagis, tapi sorot matanya begitu jelas bahwa ia tidak siap kehilangan orang yang sudah menemani dan menerima kekurangannya selama ini.

"Bun..." Rindu menghentikan panggilannya ketika dokter berhenti membuat Bundanya sadar kembali dan grafik Nada bergerak lurus, "gak! Ini gak boleh terjadi!"

"Rindu," Annisa mencoba menenangkan menantunya.

"Ini semua mimpi! Bunda gak akan pernah meninggalkan Rindu!" Gadis berjilbab itu buru-buru melangkah mendekati pintu. Nada tidak boleh meninggalkan dirinya, Bundanya harus tetap bersamanya.

🏫

Menyapa Rindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang