Bab 24 | Melamar

44 8 4
                                        

Ketika aku perlahan membuka diri, kau malah mendorongku ke lubang hitam yang tidak pernah ku prediksi.

-Menyapa Rindu-

Melvin yang baru pulang dari sekolah, menatap heran kepada Rindu yang saat ini sudah duduk di meja makan sedang membaca buku. Ia menutup pintu lalu melangkah mendekat.

"Assalamualaikum," Rindu yang sedikit kaget akan suara tiba-tiba suaminya mendongak menatap Melvin yang terlihat kelelahan.

"Waallaikumsalam," Rindu tersenyum simpul lalu melajukan membacanya tanpa mau peduli dengan Melvin yang kehausan atau tidak, toh dirinya bisa mengambil sendiri air jika ia haus.

"Siapa yang masak semua makanan ini?" Melvin menatap semua makanan yang sudah tersusun rapi di atas meja makan.

"Mama tadi kesini, mengajari Rindu masak supaya Om Melvin bisa bangga memiliki istri yang pandai masak." Rindu tersenyum mengejek menatap Melvin yang masih berdiri di depannya.

"Saya tidak mengharapkan kamu bisa masak, saya lebih bersyukur jika kamu tidak bisa." Melvin menatap tajam ke arah Rindu lalu ia melangkah pergi untuk membersihkan tubuhnya yang sudah sangat lelah.

"Apa yang dia pikirkan? Kenapa dia bersyukur karena gue gak bisa masak?" Rindu menoleh menatap kepergian Melvin yang sudah masuk ke dalam kamar. Lebih baik ia membaca novelnya kembali, dari pada harus memikirkan apa yang di maksud dari Melvin.

***

"Gak usah tebar pesona," Rindu mendengus kesal ketika bukunya terkena air dari rambut Melvin yang saat ini basah.

Melvin yang mengusap-usap kepalanya dengan handuk menghentikan langkah lalu menatap istrinya, "saya tidak tebar pesona, saya hanya ingin mengeringkan rambut." Melvin menggelengkan kepala lalu segera duduk di kursinya.

"Lagian kenapa kamu tidak makan malam duluan?" Rindu menutup bukunya lalu meletakkan di samping meja.

"Terserah dong, gue makan malamnya kapan! Dan gak usah kepedean gue nungguin Om Melvin." Rindu meraih piring yang berada didepannya. Ia menunggu Melvin hanya karena permintaan Annisa. Jika mertuanya itu tidak menyuruhnya, mana mungkin ia menahan lapar hanya karena guru kirimannya itu.

"Tadi kenapa Mama kesini? Tumben Mama gak bilang dulu kalo mau kesini." Melvin mengambil nasi setelah istrinya. Ia tidak ingin berebut seperti anak kecil. Ia juga lapar, tapi dirinya harus sabar.

"Kepo banget sih jadi orang, emangnya Mama itu tahanan harus bilang-bilang mau pergi kemana?" Rindu yang sudah kelaparan merasa kesal dengan Melvin yang terus bicara.

"Saya hanya tanya, gak usah marah-marah." Melvin menggelengkan kepala tidak mengerti akan sikap Rindu, padahal sendari tadi ia bertanya dengan cara baik-baik.

"Mama tadi ngajak Rindu pergi ke kajian, terus pulangnya kita masak." Rindu mengunyah makanannya sembari menatap kesal Melvin, "Mama gak makan disini karena Papa di rumah sendirian. Mama gak mau Papa makan malam sendiri," terang Rindu sebelum suaminya itu kembali bertanya.

"Besok ada tamu yang mau kesini, jadi saya mohon agar kamu besok tidak keluar kamar." Rindu yang mencoba menikmati makan malamnya spontan mendongak menatap Melvin yang masih tidak mengalihkan pandangan terhadap makanannya.

"Kenapa harus dikamar? Rindu kan bisa pergi dari sini?"

"Saya tidak mau ambil resiko, kalo kamu diculik bagaimana?" Rindu menautkan kedua alisnya tidak percaya dengan pernyataan santai suaminya.

"Kan bisa ke rumah bunda atau mama."

"Merepotkan, kamu itu udah nikah, jangan kayak anak kecil yang selalu mengandalkan orang tua."

Rindu ingin sekali mencongkel kedua mata Melvin sangking kesalnya, "iya Om Melvin yang keras kepala bin maksa."

***

Seperti yang dibilang Melvin kemarin. Rindu tetap berada di kamar setelah ia makan malam dengan suaminya yang menyuruhnya cepat, karena tamu akan segera datang. Entah siapa tamu itu, tapi Rindu harus repot sendiri karenanya.

"Enaknya ngapain ya?" Rindu yang biasanya menonton televisi setelah makan malam menatap pantulan dirinya sendiri di cermin. Ia bosan berada di kamar, meksipun sebenarnya ada tugas yang masih menumpuk belum ia kerjakan.

Karena tidak tau ingin melakukan apa, akhirnya Rindu mencoba membuka situs belanja online. Ia mencoba mencari-cari novel yang kemarin tidak sempat ia beli.

Lama Rindu mencari judul buku yang akan ia beli. Akhirnya ia ketemu juga, senyumannya mengembang tatkala stok buku masih ada di toko online yang ia kunjungi.

"Lho kok?" Rindu menautkan kedua alisnya tidak percaya dengan apa yang ia lihat. Bagaimana tidak percaya, jumlah saldo rekeningnya sangat sedikit dari apa yang ia bayangkan. Ia pikir Melvin akan memberikan uang saku sama banyak dengan apa yang ayahnya berikan, tapi ternyata ia salah.

"Dasar suami pelit!" Gadis berambut panjang itu beranjak dari tempat tidur. Ia harus mencari perhitungan dengan Melvin yang begitu pelit memberikannya uang saku. Ia pikir anak SD yang diberikan uang jajan segitu?

Ketika Rindu akan membuka pintu kamarnya, sayup-sayup ia mendengar percakapan seseorang. Ia sekilas lupa kalo saat ini suaminya itu sedang ada tamu. Rindu mendekatkan telinganya ke pintu, ia kepo akan pembicaraan Melvin dengan tamunya yang sudah mau larut tidak pulang-pulang.

"Ayolah Vin, kau tau aku kan?" Rindu seperti mengenal suara tamu Melvin, tapi ia membuyarkan lamunan ketika dirinya mendengar suara suaminya.

"Baiklah, aku akan melamarnya." Rindu membulatkan matanya tidak percaya. Apa yang Melvin katakan tadi? Melamar? Melamar siapa dengan siapa? Apakah Melvin akan menikah lagi?

"Terimakasih, kau adalah teman terbaik ku."

"Jika Sarah mencintaiku, jangan salahkan aku. Aku tidak akan pernah melepaskannya semudah itu." Rindu menjauhkan tubuhnya dari pintu. Wajahnya saat ini jauh dari kata tenang dan damai. Bagaimana bisa ia mendengar pernyataan tidak masuk akan seperti itu? Bagaimana bisa Melvin dengan mudah mengatakan jika ia akan melamar Sarah? Meksipun ia sudah menikah.

Rindu duduk di tepi ranjang, ia kembali mengingat bagaimana dekatnya Melvin dengan Sarah. Bagaimana Sarah berbicara penuh senyuman kepada suaminya. Bagaimana wanita itu terjatuh dan berada di delapan Melvin. Ini memang bukan salah suaminya yang mencintai orang lain, tapi ini semua salah takdir. Kenapa takdir mengharuskan ia menikah dengan Melvin. Kenapa takdir selalu menghancurkan mimpi-mimpinya. Kenapa takdir memberikan cobaan untuk dirinya yang hanya ingin tercapai semua mimpinya. Setiap kali Rindu ingin melangkah, ada saja halangan yang datang.

"Aku sangat mencintainya, aku sangat mencintaimu Sarah." Rindu menatap pintu kamarnya yang masih tertutup. Bagaimana bisa Melvin mengatakan itu, sementara disini ada istirnya yang entah kenapa sangat terluka mendengar pernyataan itu. Sesuatu yang tidak kasat mata telah mengores dan memporak-porandakan seisi hatinya.

***

Melvin yang sedang menikmati sarapannya merasa aneh dengan sikap Rindu yang hanya diam. Gadis itu terlihat lesu, membuat Melvin sedikit khawatir.

"Kamu sakit?" Rindu mendongak menatap sekilas suaminya lalu kembali menyantap makanannya.

"Kenapa Om Melvin memberikan uang saku Rindu sedikit?" Bukannya menjawab pertanyaan Melvin, gadis itu malah bertanya kembali membuat Melvin berasumsi bahwa istirnya terlihat cemberut karena uang saku. Padahal sebelumnya, Rindu sendari tadi diam karena ia masih kesal dengan kejadian kemarin malam.

"Memangnya kamu mau berapa? Saya memberikan uang saku, seperlunya. Saya merasa uang saku yang saya kasih tidak terlalu sedikit, memangnya berapa yang biasanya kamu dapat dari ayah?" Melvin yang akan mengambil ayam goreng mengurungkan niat ketika Rindu yang terlebih dahulu meraihnya.

"Sudahlah, Om Melvin emang pelit." Rindu tidak ingin menambah beban masalahnya. Ia lebih baik menerima kenyataan akan uang sakunya yang turun. Percuma juga ia berdebat dengan Melvin, karena pasti pria itu tidak akan merubah keputusannya.


🏫

Menyapa Rindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang