Keterbukaan akan membuat hubungan menjadi lebih erat dan kesalah pahaman tumbuh dari saling menutup diri.
-Menyapa Rindu-
Rindu bisa bernapas lega ketika kajian sudah selesai. Bukan karena ia bosan, tapi lebih tepatnya ia bisa terbebas dari teman-temannya yang merengek ingin pergi.
"Kalo kayak gini, mending ikut kajian aja terus." Rindu menautkan kedua alisnya tidak mengerti dengan ucapan Putri yang sudah duduk disampingnya membuka nasi kotak pemberian panitia kajian.
"Maksud Putri, kalo dia ikut kajian, dia bisa makan gratis." Rindu menggelengkan kepala mendengar penjelasan dari Zahra yang akan meminum air putih.
Saat ini mereka sedang duduk di pelataran masjid. Lebih tepatnya Annisa yang meminta untuk duduk-duduk sebentar, ia bahagia karena Rindu mau menuruti permintaannya dan ditambah teman-temannya juga ikut serta.
"Kalian teman sekelas Rindu?" Annisa mulai membuka percakapan setelah sebelumnya ia hanya diam memperhatikan interaksi mantunya dengan para sahabatnya.
"Iya Tan, kita teman sekelas. Kalo boleh tau, Tante ini siapanya Rindu?" Amanda tersenyum ramah kepada Annisa yang menurutnya wanita paruh baya yang sangat cantik. Meksipun wajahnya tidak lagi muda, tapi kecantikannya masih terpancar alami tanpa adanya make up tebal, "soalnya tadi Rindu bilang kalo mau dateng ke kajian sama bundanya, tapi ternyata sama Tante."
Rindu menatap cemas Annisa yang menatapnya sekilas. Semoga saja Mamanya itu tidak mengatakan kebenarannya, bisa mati berdiri dirinya.
"Saya teman bundanya Rindu, karena aslinya saya yang mengajak Rindu datang."
"Tuh kan bohong lagi," gumam Zahra melirik sinis Rindu.
"Gimana sekolah kalian? Katanya tadi pulang lebih awal ya?" Annisa mencoba mengalihkan topik. Ia tau jika pembahasan tadi tidak akan aman untuk pernikahan anaknya dan Rindu.
"Iya, tadi pulang cepet Tan," Amanda menatap Rindu yang sendari tadi diam. Ia merasa jika temannya itu sedang berlagak menjadi gadis pendiam.
"Gimana sekolah disana? Enak gak? Guru-gurunya gimana? Baik-baik?" Annisa mencoba memancing teman-teman menantunya agar membicarakan bagaimana Melvin mengajar, karena selama ini ia tidak pernah tau secara rinci bagaimana putranya memperlakukan anak didiknya dengan wajah yang tidak pernah tersenyum itu.
"Baik kok Tan, cuma ada beberapa guru aja yang terlalu tegang." Kali ini Zahra yang membuka suaranya, ia juga merasakan jika perilaku Rindu sedikit berbeda. Gadis itu sendari tadi hanya diam.
"Terlalu tengang gimana?"
"Di sekolah, ada guru yang tegang banget wajahnya! Kayak semua beban hidup itu ada di pundaknya!" Rindu membulatkan matanya menatap Putri yang sedang menikmati roti. Meksipun gadis itu tidak menyebutkan nama, tapi Rindu tau betul siapa orang yang Putri maksud.
"Kalo boleh Tante tau, siapa namanya? Emangnya dia setegang apa, sampai kalian kayaknya greget banget?" Rindu menggelengkan kepala pelan melihat Annisa yang malah memancing teman-temannya untuk kembali bersuara.
"Namanya pak Melvin! Dia selalu menghukum Rindu, bener kan Rin?" Tangan Rindu sudah gatal ingin mencakar wajah Putri yang menampakkan kepolosannya.
"Bener yang dikatakan Putri Rin?" Annisa menoleh ke arah Rindu yang sudah tegang menghadapi situasi yang mulai bahaya.
"Bener Tan! Rindu aja selalu ngatain pak Melvin setiap kali kita kumpul! Karena saking kesalnya Rindu sama guru kimia itu!" Rindu menunduk merasa lemas setelah mendengar pernyataan dari Putri. Bagaimana bisa ia memiliki teman seperti itu?
"Ngatain kayak gimana?" Rindu mendongak tidak percaya dengan Annisa katakan. Kenapa juga ibu mertuanya itu bertanya hal seperti itu kepada Putri.
"Kata Rindu, pak Melvin itu kayak roti panggang, wajahnya kaku kayak batu, terus wajahnya kayak habis putus cinta gak pernah senyum." Annisa mengangguk menatap penuh arti Rindu yang hanya tersenyum simpul. Rasanya ia ingin segera menghilang dari muka bumi, dari pada ia harus berada dalam situasi seperti ini.
***
Rindu yang masih mengenakan gamisnya menatap cemas Annisa yang saat ini sedang sibuk memasak di dapur apartemen. Ketika perjalanan pulan, mereka saling diam dan itu membuat Rindu campur aduk tidak karuan.
"Ma," cicit gadis itu memotong wortel sembari menatap takut Annisa yang sedang menumis sayuran.
"Rindu minta maaf ya," Rindu tidak pernah menyangka jika dirinya dalam situasi seperti ini. Kepergok menjelek-jelekkan suaminya sendiri di depan ibu mertuanya adalah hal menakutkan sekaligus horor.
"Minta maaf untuk apa?" Annisa meraih air lalu menuangkannya sedikit ke wajan di depannya.
"Minta maaf soal tadi, Rindu benar-benar tidak bermaksud menjelekkan om, maksud ku mas Melvin di depan teman-teman. Kejadian itu terjadi sebelum kita menikah." Rindu sudah menjelaskan sekarang, jadi ia berharap jika Annisa dapat mengerti keadaannya yang memang tertekan akan sikap Melvin ketika ia menjadi seorang guru.
"Dengar sayang," Annisa merangkul pundak Rindu lalu menyuruhnya untuk duduk di kursi, lebih tepatnya di meja makan.
"Mama tidak masalah atau merasa tersinggung akan perkataan kamu yang menjelekkan Melvin, hanya saja sekarang Mama merasa bersalah karena menikahkan kalian." Rindu menautkan kedua alisnya tidak mengerti, ia menatap kedua tangan Annisa yang sedang mengusap punggung tangannya.
"Mama pikir kalo kalian sebelumnya memiliki hubungan yang baik, tapi ternyata Mama salah, kalian tidak akur dan bahkan kamu terlihat membenci sikap Melvin." Rindu menggeleng cepat tidak setuju dengan kalimat terakhir yang dilontarkan Annisa, meksipun kenyataannya memang seperti itu. Ia memang membenci guru kimia-nya.
"Maafkan Mama, karena sebelumnya tidak berbicara dulu dengan kalian. Mama malah langsung menikahkan kalian dengan paksa seperti ini, Mama pikir meksipun kalian tidak dekat setidaknya kalian memiliki hubungan baik. Ternyata tidak, maafkan Mama ya?" Annisa menatap sendu Rindu. Selama ini ia pikir jika Rindu dan Melvin hanya memiliki perbedaan umur, pola pikir dan status. Ternyata dirinya salah, mereka memiliki pola pikir yang jauh berbeda dan itu membuat mereka saling membenci.
"Mama tidak perlu minta maaf, Rindu sudah mengikhlaskan." Entah dari mana asalnya, kedua mata Rindu berkaca-kaca. Ia kembali teringat akan mimpinya yang harus terkubur karena takdir yang mendadak menjungkirbalikkan kehidupannya. Apalagi mengingat fakta akan penyakit yang bundanya derita, rasanya semua kesedihan terarah kepadanya.
"Kamu wanita kuat Rindu, Mama bangga memiliki kamu. Semoga pernikahan paksa ini tidak membuat awal kehacuran kalian, semoga pernikahan ini menjadi awal kebahagiaan kalian. Mama hanya bisa mendoakan kalian, karena takdir tidak bisa di putar kembali. Mama minta maaf."
"Ayolah Ma, jangan menangis." Rindu mengusap air mata Annisa yang tiba-tiba turun, ia yang sendari awal mencoba menahan laju air matanya tidak kuasa, Rindu akhirnya ikut menangis.
"Rindu tau jika ini tidak mudah, tapi dengan adanya Mama disini, membuat takdir tidak terduga ini menjadi menyenangkan. Mama tidak perlu menangis lagi, ini juga sudah terjadi." Annisa memeluk tubuh Rindu erat. Ia bersyukur memiliki menantu yang dapat mengerti dan menenangkan dirinya.
🏫
KAMU SEDANG MEMBACA
Menyapa Rindu
Teen FictionSesuatu yang di bangun dari keterpaksaan akan berakhir tidak menyenangkan. Begitupun dengan perjodohan yang tiba-tiba berada di depan mata Rindu Aisya Fitri. Di umur yang masih semangat mengejar mimpi, harus terkalahkan oleh permintaan kedua orang t...