Bab 6 | Awal Segalanya

62 10 3
                                    

Percayalah bahwa takdir tidak akan pernah mengecewakanmu, karena apa yang sudah ditakdirkan pastilah baik dan apa yang kamu inginkan  belumlah baik. Teruslah bersabar hingga kamu menyadari bahwa memang itulah yang terbaik.

-Menyapa Rindu-


Rindu tidak bisa bernapas dengan tenang setelah keputusan keluarganya yang akan menikahkan dirinya, ternyata tiga hari setelah lamaran, lebih tepatnya hari Jum'at. Mereka bilang, ini hanya pernikahan siri jadi hanya keluarga besar yang akan datang. Persiapannya juga tidak terlalu memakan waktu banyak jadi lebih baik waktunya di percepat.

Kedua belah pihak memutuskan untuk merahasiakan pernikahan ini karena status Rindu yang masih sekolah dan juga Melvin yang seorang guru, seharunya guru tidak menikahi muridnya sendiri.

Apakah pantas guru yang sudah di anggap keluarga kedua menikah dengan anak didiknya? Itulah pandangan Rindu kepada Melvin. Menurutnya, Melvin bukan guru yang sempurna, meksipun ketika pria itu menjadi seorang guru tidak di pungkiri  telah masuk ke dalam jajaran guru di siplin dan dapat di contoh dengan baik. Tapi nyatanya Rindu menghapus nama Melvin dalam jajaran guru yang dapat di contoh, Melvin seperti predator di matanya saat ini. Awas saja jika nanti Melvin berbuat sesuatu kepadanya, ia tidak akan tinggal diam.

"Sayang, kenapa melamun?" Rindu mendongak menatap Annisa yang sudah membawa kebaya pernikahan berwarna putih untuk dirinya. Saat ini mereka sudah berada di butik untuk membeli kebaya untuk ia pakai ketika ijab kabul.

"Cuma mikirin tugas Tan." Rindu tersenyum kaku sembari beranjak berdiri.

"Kok manggil Tante sih? Panggil Mama dong!" Annisa memanyunkan bibir menggoda calon menantunya yang terlihat polos dengan seragam sekolah yang masih melekat di tubuhnya, karena Annisa menjemput Rindu langsung dari sekolah.

"Maaf Tan, eh maksudnya Mama." Rindu salah tingkah, sebenarnya ia sudah menganggap Annisa sebagai Mamanya, tapi rasa canggung kembali tercipta karena ternyata sebentar lagi ia akan benar-benar menjadi anak angkat wanita paruh baya di depannya, lebih tepatnya menantu.

"Kebaya ini bagus gak? Kalo kamu kurang suka, kita pilih-pilih di sana." Rindu mengalihkan pandangan menatap kebaya putih yang terlihat sederhana, mungkin selera dirinya dan Annisa sedikit sama. Mereka lebih menyukai sesuatu yang sederhana yang malah terlihat elegan.

"Iya, Rindu suka yang ini."

"Alhamdulillah kalo Rindu suka, kita ambil yang ini aja ya." Setelah Rindu mengangguk, Annisa berlalu mendekati penjaga butik yang akan mempersiapkan pesanan mereka.

"Sembari menunggu, Mama boleh ngomong sebentar sama kamu?" Rindu yang bingung akhirnya mengangguk mengiyakan. Mereka berdua beriringan berjalan menuju sofa yang sudah tersedia di dalam butik untuk kenyamanan pembeli.

"Mama ingin setelah menikah, kamu mengenakan jilbab." Rindu spontan menautkan kedua alisnya tidak suka. Mereka sudah duduk di sofa, "Mama gak maksa, cuma Mama mau kamu belajar mengunakan jilbab. Kamu tau kan, kalo jilbab itu kewajiban untuk perempuan yang mengaku dirinya muslim?"

"Kamu gak usah bilang apa keputusan kamu, Mama tau kalo kamu berat menjalani ini. Tapi, Mama harap kamu belajar sedikit demi sedikit Rindu. Memang kebanyakan anak muda sekarang meremehkan menutup aurat, mereka anggap bahwa memperbaiki akhlak lebih utama dari pada melaksanakan kewajiban terlebih dahulu. Padahal jelas, kewajiban itu hal yang lebih utama dan nanti jika kita menjalankan kewajiban itu, maka akhlak dan yang lainnya mengikuti, perlahan berubah menjadi lebih baik. Insaallah." Rindu tidak bisa berkata-kata lagi setelah Annisa menasehatinya. Ia dulu juga pernah mendapatkan teguran dari bundanya, tapi entah kenapa penuturan Annisa lebih menyentuh hatinya. Mungkin karena Annisa juga membuka cara pandang baru untuk Rindu, karena bundanya hanya menyuruh ia berjilbab tanpa mau menjelaskan kenapa ia harus menjalankan kewajiban itu sementara teman-temannya tidak.

"Semoga nanti, Melvin bisa buat kamu berubah ya. Berubah menjadi wanita Sholihah." Annisa mengusap lembut ujung kepala Rindu yang langsung tidak suka mendengar nama orang yang tidak ia benci. Bagaimana Melvin merubahnya menjadi wanita baik, kalo pria itu saja tidak menjalankan salah satu Sunnah nabi yang tak lain adalah senyum adalah ibadah. Menyebalkan.

***

Hari yang tidak pernah Rindu pikirkan akhirnya datang. Mungkin Rindu akan menandai tanggal pernikahannya ini, sebagai hari paling, paling, paling buruk. Bukannya Rindu tidak ingin menikah muda, ia sebenarnya sudah pasrah akan permintaan Nada. Hanya saja, ia lebih tidak habis pikir bahwa beberapa menit lagi ia akan menjadi seorang istri dari guru menyebalkan yang ingin Rindu lenyapkan dari dunia, jika saja agamanya membolehkan membunuh.

"Anak Bunda cantik sekali." Rindu menatap pantulan dirinya dari cermin. Ia sudah siap dengan kebaya putih yang Annisa pilihkan untuk dirinya sekaligus jilbab putih yang terlihat serasi dengan wajahnya yang sudah memakai make up.

Di belakangnya senyuman kebahagiaan Bundanya terpantul dari cermin, membuat Rindu tidak kuasa menahan air mata, jika ternyata suatu hari nanti Nada akan meninggalkannya.

"Lho, kok nangis." Nada menangkup wajah cantik putrinya yang mencoba menahan laju air mata.

Dengan telaten, wanita paruh baya itu mengusap pelan air mata dari wajah Rindu.

"Jangan pernah tinggalkan Rindu." Suara Rindu yang pelan bagaikan angin lembut menerpa daun membuat Nada tersenyum kaku.

"Bunda tidak akan pernah tinggalkan Rindu, Bunda bakalan sering jenguk Rindu. Rindu gak usah sedih lagi ya, Melvin pasti bisa menjaga dan melindungi kamu." Rindu hanya mengangguk, meskipun bukan jawaban itu yang ia harapkan.

"Ayo, Melvin pasti udah gak sabar liat kamu. Liat bidadarinya." Tidak ada penolakan dari Rindu ketika Nada menyuruhnya bangkit. Ia sekilas menatap pantulan cermin lagi, ia berharap jika hari ini adalah mimpi panjangnya yang nantinya akan hilang ketika ia terbangun.

Suasana kediaman keluarga Candra seperti biasanya, sepi. Meksipun tidak mengundang saudara dan kerabat jauh, tapi tempat di langsungkannya ijab kabul terlihat meriah dengan banyaknya dekorasi di setiap sudutnya. Bahkan Rindu yang saat ini sudah duduk di samping Melvin sedikit tercengang akan dekorasi yang menurutnya berlebihan. Ia mengedarkan pandangan meneliti siapa saja yang akan menjadi saksi akan kehancuran hidupnya, di samping kiri terdapat kedua orang tuanya dan beberapa saudara yang tinggal tidak jauh dari rumahnya lalu di samping kanannya terdapat Melvin, kedua orang tuanya dan sepasang suami istri yang sepertinya masih kerabat.

Ketika Rindu sibuk mengedarkan pandangan, ia tidak sengaja melihat Melvin yang juga menatapnya, "dasar guru cabul!" cibirnya begitu kesal sedikit mengeraskan suara agar Melvin dapat mendengarnya, ia berpikir Melvin akan membatalkan pernikahan di detik-detik terakhir setelah ia mengatai guru kimia-nya itu.

"Silakan jabat tangan saya, Nak Melvin." Rindu menggeleng pelan ketika tangan Melvin perlahan mulai terangkat menjabat tangan penghulu di depannya. 'jangan! Jangan jabat tangan! Gue sumpaihin lo gak bisa kencing selama sebulan! Atau selama-lamanya sekalian!'

"Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Muhammad Melvin Saputra bin Denis dengan putri kami Rindu Aisya Fitri  binti Candra dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang tunai sebesar Rp. 25.000.000 Tunai," ucap penghulu setelah Melvin menjabat tangannya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Rindu Aisya Fitri binti Candra dengan maskawinnya yang tersebut, tunai."

Rindu menitihkan air mata, bukan karena dirinya bahagia sudah menjadi seorang istri. Tapi Rindu lebih  mengasihani dirinya sendiri karena sudah kalah dan pasrah akan takdir yang tidak pernah mengizinkannya bahagia.

🏫

Bantu klik bintang dan share ke teman-teman Wattpat kalian ya, soalnya gak mudah lho nulis tanpa adanya pembaca.

Terimakasih!

Menyapa Rindu Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang