Pukul 07.30 WIB
"Semoga hari Kamu menyenangkan."
Seruan Jeana penuh keceriaan, suaranya keras bersemangat namun terasa menyedihkan. Gisel hanya menatapnya dengan mata memerah. Anak itu menemukan kepiluan dari getaran disuara Jeana meski wajah Maminya dipaksa untuk seceria mungkin.
Sepasang kaki berbalut sepatu hitam itu masih terpaku dipijakan yang sama. Berdiri kaku menghadap sosok yang begitu Ia rindukan. "Nanti.. Mami jemput Gisel kan?" tanya Gisel. Jemarinya memilin tali ranselnya.
"Em.. We'll see. Tapi siapapun nanti yang jemput Gisel ikut pulang ya. Jangan nginep di sekolah." Jeana terkekeh melihat delikan mata Gisel. Jeana baru menyadari satu hal, Ia lebih suka mendapat delikan kesal Gisel yang tampak lucu dari pada sorot mata sendunya.
"Yakali Gisel nginep disekolah." sungut Gisel sebal. Kakinya menghentak pelan.
"Nah gitu dong, nge-gas! Ini baru Giselnya Mami." Jeana mencubit pipi Gisel pelan. "Sana masuk, sekolah yang bener ya. Janji kamu harus masuk peringkat 5 besar loh."
"Iya. Mami juga hati-hati. Jangan lupa nanti siang jemput Gisel loh."
"Bye darling. See you!" kalimat itu hanya sebuah bisikan yang menemani punggung kecil Gisel menjauhi tempat Jeana berpijak.
Setetes air lolos dari sepasang mata Jeana. Tangis yang Ia tahan sejak tadi, kali ini menyerah. Meluruh perlahan menyusuri pipi Jeana. Saat punggung kecil itu berbalik sekali lagi, Jeana melambai dengan heboh. Membentuk love dengan kedua lenganya. Senyumnya mengembang sempurnya, namun lenyap saat detik baru menyentuh angka lima.
"Mami sayang Gisel." bisik Jeana, saat punggung Gisel mulai hilang.
¤¤¤
Kepala Jeana terkulai diatas kemudi. Tangis yang mati-matian Ia tahan akhirnya pecah. Dadanya bergemuruh, tercabik-cabik dengan brutal. Semuanya terasa menyesakan.
"Kenapa Kamu setega ini sama Aku, Ndra. Apa salahku?" Jeana kembali sesenggukan.
Entah berapa lama Ia meleburkan tangisnya, yang Jeana rasakan adalah sepasang matanya terasa berat. Dadanya terasa sesak karena hidungnya juga mulai mampet.
Tanganya meraih tas yang Ia bawa. Mengeluarkan ponsel yang sejak tadi Ia non aktifkan. Hal pertama yang terjadi adalah ponselnya diserbu banyak notifikasi pesan dan panggilan tak terjawab dari Val dan Bang Ian.
Jeana mengabaikanya. Ia mencari kontak yang sudah lama tidak menelponya. "Halo.. Eyang?"
"Sugeng enjing Sayang. Kenapa?" sambutan lembut Eyang berhasil melegakan sedikit sesak yang mengepungnya.
"Jeana.. boleh main ke Solo?"
"Tentu saja cah ayu. Sini main ke Solo." Eyang terdengar sangat antusias.
"Boleh Jean minta sesuatu?" Jeana menggigit bibirnya gugup.
"Apa Nduk?"
"Jangan bilang siapa pun kalau Jean kesana."
Ada hening yang menjeda percapakan antara Eyang dan Jeana. Hanya deru nafas Jeana yang sedikit memburu.
"Kemarilah."
Satu kata itu berhasil melambungkan keberanian Jeana. Ia tengah berjalan menyusuri lorong sebelum menaiki pesawat yang akan membawanya pergi ke Solo.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Take You
General FictionTake and Give Seharusnya seperti itu juga cara kerja untuk semua hal yang terjadi dalam hidupnya. Tapi Jeana merasa Dia too much to give, dan terdengar terlalu serakah karena Ia menginginkan lebih banyak hal untuk diterima dan dimiliki. Karena sedar...