Pagi hari yang sama sekali tidak Atra tunggu akibat semalam dia melakukan diskusi bersama anggota divisinya selama dua jam lebih untuk memecah kasus yang harusnya tidak terlalu sulit. Namun nyatanya sang pelaku mampu membuat skenario menyebalkan bagi Atra dan anggotanya. Cowok itu memijit dahinya, mulai mencatat beberapa rumus dari bukunya untuk belajar sebentar akibat pagi ini akan ada ulangan Matematika Wajib tetapi Atra belum menyentuh buku catatannya sejak tadi. Ia melirik Dana yang baru datang sambil tersenyum tipis.
"Dan, lo pasti udah belajar?" Atra mencoba menebak, sedikit bergurau dengan sahabatnya yang tampak terkekeh.
Sambil membuka ransel biru dongker dan mengeluarkan buku catatan, Dana menjawab. "Lumayan, lah," kemudian bola matanya memicing. "Mata lo merah. Kurang tidur?"
Atra mengangguk. "Lo tahu kalo gue paling benci dianggap remeh, bahkan sama si pencuri itu," dia menggeram, meremas buku tulisnya selagi Dana memerhatikan dengan takdim. "Gue penasaran kenapa Reksa bisa secerdas itu buat mempersulit bukti pencurian. Kayak, dulu dia bahkan dengan mudahnya ketahuan. Sekarang dia pintar sembunyi tangan."
Dana menggeleng pelan. "Tra, dulu sama sekarang udah beda kali," balasnya, kemudian tersenyum. "Lagian kalau lo cuma fokus sama masa lalu Reksa, sama aja jatohnya lo lagi cari pembenaran aja. Gue udah bilang kalo Reksa terlalu aneh jadi pencuri itu, Tra," ia berujar, memberikan sedikit opininya pada Atra meskipun tahu sahabatnya itu tidak akan mendengarkannya.
Atra yang keras kepala merupakan satu hal mutlak sehingga tak dapat diganggu gugat.
"Lo nggak mungkin masih kasian sama dia, kan?" Senjagatra memastikan, menatap sahabatnya yang terdiam dengan bibir terkatup. Tanpa menunggu jawaban Dana, Atra menyimpulkan bahwa Dana itu terlalu baik untuk membiarkan si pencuri tetap berkeliaran bebas tanpa rasa bersalah. Sejak dulu, Dana Rafathar terlalu mudah memaafkan Reksa Ghana, dan Senjagatra hanya dapat melihat dua orang itu dari jauh dengan dendam yang ia simpan.
Dana berniat untuk menjelaskan, tetapi panggilan riang Pita di pagi hari membuat cowok itu menoleh. Ia membalas panggilan perempuan manis itu dengan senyum tipis sebelum kembali pada catatannya.
Pita yang tampak gembira akhirnya melirik Atra. "Tra! Gue lupa bilang kalo lo dipanggil Fred, ditunggu di parkiran."
"Fredie?"
Cewek itu mengangguk cepat.
Atra berniat berdiri, meninggalkan catatan Matematikanya bersama Dana sebelum Mila, salah satu anggota divisinya masuk dengan berteriak panik.
"KETUAA! ADA YANG KEHILANGAN PULPEN—"
"HAH?!" semua murid IPA 1 menoleh kaget, membuat omongan Mila terpotong sebelum ia melanjutkan.
"—SAMA BUKU CATATAN MATEMATIKA! KAK FRED, BANG!" mendengar itu, Atra segera keluar dengan memakai blazer beserta membawa pulpen. Ia meninggalkan sayup-sayup bisikan siswa yang tampak panik karena pencurian ini terlihat semakin menakutkan, apalagi sehari sebelumnya ada Freya yang baru kehilangan buku catatan Kimia. Semua hal mulai terlihat serius, dan Atra mulai merasa pening.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lempar Umpan, Sembunyi Tangan
Teen FictionTacenda (Sesuatu yang lebih baik tidak diungkapkan) Ada satu kasus pencurian misterius di SMA Nusantara dan Atra sebagai ketua divisi Kedisiplinan dan Keamanan OSIS ditugaskan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dia berkenalan dengan si gadis indigo...