Ada satu istilah mengenai siapa cepat tanggap, dia lebih dulu mendapatkan apa yang dia mau. Meskipun sekarang istilah itu mulai dirasa menyebalkan bagi sebagian orang, namun kenyataannya adalah bahwa semakin kita berusaha untuk mendapatkan sesuatu, kita akan lebih dulu mencapainya dibandingkan orang yang terlalu santai hingga bermalas-malasan. Oleh sebab itu, Senjagatra mulai berpikir inilah saatnya dia mengambil sikap cepat tanggapnya dengan buru-buru menyelesaikan sarapan nasi goreng buatan Bi Tuti sebelum keluar di pukul 6 kurang 10 menit.
Jalanan Ibukota yang lengang membuat motor KLX itu mampu menempuh perjalanan yang umumnya dicapai selama 15 menit akibat kemacetan ditambah lampu merah, kini dirinya sampai di pukul 6 pagi. Ia melepas helm dan meletakkanya di atas stang motor sebelum dikunci, tak lupa mengambil kunci motor lantas berjalan mendatangi Fred yang menunggunya di depan ruang TU yang ada di gedung B.
Cowok itu merangkul ketua-nya dengan akrab. "Gimana? Katanya lo dapet?" ia agak berbisik, melirik kanan kiri untuk memastikan tak ada yang mendengar percakapan mereka.
Atra mengangguk, memberikan potongan kertas pada cowok itu. "Itu alamat Bapak-bapak yang request tangan boneka buat anaknya," kemudian dia memberikan satu potongan kertas lain. "Kalo ini alamatnya Mas Iyo, mahasiswa yang beli tangan kayu itu. Pembeli kedua."
"Ini Bapaknya gimana bisa dapet nih alamat?" Fred kembali bertanya, agak bingung bagaimana seorang penjual memiliki alamat dari pembelinya. Meskipun keduanya menggunakan kuitansi, hanya saja dalam kuitansi tidak ada kolom untuk menulis alamat si pembeli.
Cowok itu tersenyum tipis, meskipun raut wajahnya tetap datar. "Kalau yang Bapak ini, ternyata emang pernah datang buat betulin tangan bonkenya. Terus minta diantar barangnya ke alamat rumah. Malas katanya balik lagi karena jauh," ia lantas menunjukkan selembar potongan kertas lain, alamat sebuah kosan di daerah Kebagusan, Jakarta Selatan. "Nah, ini didapetin karena Bapaknya alibi mau kasih servis semisal barangnya rusak. Sekaligus nyebutin kasus Bapak pertama yang emang tangan kayunya pernah rusak," Atra menjelaskan dan tak sekalipun Fred mengerjapkan matanya.
Pria yang memiliki adlib suara berat itu menatap kagum temannya yang cukup santai dalam menjelaskan apa yang baru saja dia dapatkan. "Tra, lo apa gak ada kepikiran mau jadi jaksa gitu? Kayaknya keren."
"Ck, gak lah," cowok itu mengabaikan ucapan Fred yang aneh. "Oh, iya. Lo yang ke kosan Mas Iyo gak apa, kan? Sama Reni," ia memastikan Fred yang mulai memasukkan satu potongan kertas ke dalam dompetnya.
"Iya, santai. Mau ke mana pun, asal gue bisa dapetin apa yang kita cari. Gue bakal nyanggupin itu, Tra," ia menepuk bahu ketuanya, wajahnya berubah menjadi penuh rasa bersalah. "Sori, ya, buat yang hari Jum'at. I know Tian keterlaluan banget."
Sebelum mereka berpisah di lantai dua gedung A, Atra mengangguk singkat. "Syukur kalian jujur sama gue, Ed," lantas pria bermata kecil dengan raut wajah dingin itu berjalan menuju kelasnya di ujung koridor lantai 2 gedung B. Kelas 11 IPA 1 yang baru diisi oleh Dana dan Windi di pukul 6 lebih 7 menit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lempar Umpan, Sembunyi Tangan
Novela JuvenilTacenda (Sesuatu yang lebih baik tidak diungkapkan) Ada satu kasus pencurian misterius di SMA Nusantara dan Atra sebagai ketua divisi Kedisiplinan dan Keamanan OSIS ditugaskan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dia berkenalan dengan si gadis indigo...