Dua Puluh Delapan. Jadi, Siapa Pelakunya?

29 9 1
                                    

Terkadang manusia terlalu sombong hanya karena mendapatkan satu buah keberuntungan di saat orang lain selalu mendapatkan kesialan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terkadang manusia terlalu sombong hanya karena mendapatkan satu buah keberuntungan di saat orang lain selalu mendapatkan kesialan. Mereka seakan lupa bahwa segala hal yang ada di bumi ini hanyalah titipan, sekaligus bisa jadi peringatan. Mungkin itu yang saat ini Anggita Januarni rasakan di tengah kegelisahan dan takutnya akan sekolah hari Senin ini. Dia tidak tahu mengapa dirinya bisa merasa sangat hebat di depan cowok Senjagtra itu. Padahal bisa saja cowok itu telah melangkah lebih dulu darinya.

Jane turun dari transjakarta dengan bibir tertetuk, beremu dengan Pita yang menatapnya riang lalu sedetik kemudian dia berubah murung. Rasanya tidak etis jika harus berusaha riang saat teman sendiri sedang bersedih.

"Udah, ih. Kita bisa liat lagi hari ini, ya," kata Pita sedikit memberi semangat meskipun tahu Jane sudah lelah terhadap harapan yang usang.

Jadi perempuan itu hanya mendengkus ringan. "Udahlah, gue udah siapin bendera putih."

"Lo nyerah?!" Pita berteriak di tengah siswa yang sedang mengantre razia Senin pagi. "Ta, sumpah. Gue udah bela, belain, bantu lo datengin si Kolong Wewe—"

"Tuan."

"Jir, oke, Tuan KW! Gue udah memberanikan diri meskipun kena teror angin kenceng pas dateng ke sana," ia menggerutu, semakin dekat dengan Mila yang pagi ini berjaga bersama Ed sedangkan Atra berdiri tenang dengan wajah dinginnya seperti biasa.

"Ya, sori."

"Sori, sori. Gak cukup, ya, Jane," gadis itu beneran jengkel akibat mendengar kalimat menyerah dari temannya itu. Selama mengenal Jane hampir 1 bulan terakhir, dia tahu bahwa gadis ini suka nekat dan cukup gak takut soal apapun kecuali tikus.

Jane hanya tersenyum tipis, membiarkan tasnya dibuka oleh si Adik kelas yang pagi ini tidak mencoba untuk meledeknya soal penyeledikan si pencuri misterius.

"Bebas," ucap Mila tenang, memberikan ransel abu-abu itu kembali pada Jane.

Jane memakai kembali tasnya sembari menunggu Pita yang masih diperiksa oleh si Adik kelas berambut sebahu yang tampak dingin pagi ini. "Lo stress?"

Mila melirik, bola matanya menunjukkan tersinggung. "Sori? Gue gak stress."

Gadis itu mengangguk santai, melirik Pita yang sudah kembali mengenakan ransel dan berniat pergi sebelum suara Mila kembali terdengar.

"Lo kali yang stress. Ya, kan?"

Jane mendengkus, melewati Ed yang pagi ini sama normalnya seperti kemarin. Berniat menyapa namun perempuan itu mengabaikannya dan berakhir pada Pita yang balas menyapa dengan ramah.

Kelas pagi ini cukup normal untuk ukuran siswa yang habis tegang hari Jum'at lalu. Terlebih Farel yang pagi-pagi sudah menggelar konser dengan alasan minggu depan akan ada Ujian Akhir Semester membuat semua orang lupa bahwa Jum'at lalu mereka ketakutan.

"Jane, Jane. Gue nyium bau kemenyan!" seru Titan dari arah belakang, tepat duduk di samping Sonia yang menutup hidung.

"Iya, ih. Ada apaan Jane di sini?"

Lempar Umpan, Sembunyi TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang