Kantin yang ramai tidak mampu membuat suasana meja berisi 4 siswa itu menjadi lebih baik. Apalagi Atra yang sesekali menatap gadis di depannya yang mulai kehilangan fokus. Hanya mengaduk-aduk piring batagornya dengan wajah lesuh seakan-akan dia baru saja kehilangan segalanya. Cowok itu menyuapkan nasi gorengnya lagi, mengintrupsi obrolan Pita yang berusaha mengalihkan pembicaraan dengan membicarakan tentang rasa nasi goreng mereka yang siang ini sedikit lebih asin—yang memang kenyataannya begitu. Nasi goreng kafetaria kalau tidak keasinan, ya tawar.
"Lo udah tau sejak kapan?" pertanyaan Atra yang sebetulnya bernada santai itu malah membuat Pita tersentak.
Perempuan berambut pendek itu mengusap dadanya, hampir saja tersedak kalau saja dia tidak lebih dulu siap-siap jika Atra ataupun Dana membahas soal percakapannya dengan Jane beberapa menit lalu. Gadis itu melirik Jane yang diam, menghentikan gerakan tangannya dalam mengaduk batagor, lalu menjawab. "Dua hari ... lalu?"
"Waw," Dana berseru, kini matanya beralih pada gadis bernama lengkap Anggita Januarni yang mulai kembali menyuapkan batagornya demi menghilangkan perasaan canggung mereka. "Rasanya gimana? I mean, selama ini gue gak pernah ketemu orang indigo, jadi penasaran aja gimana reaksi lo waktu pertama kali sadar kalo lo bisa melihat mereka," cowok itu menatap dengan antusias. Seakan-akan penjelasan Jane mengenai perasannya sebagai manusia yang spesial karena dapat melihat dunia di luar mereka pun pelajaran yang menarik—yang bahkan tak dapat Atra pahami mengapa Dana bisa seantusias itu.
Mungkin karena terlalu banyak belajar, membuat cowok itu menganggap semua hal menjadi sesuatu yang sangat menarik baginya.
Jane menjawab. "Kaget pastinya," ia melirik Atra sekilas, lalu tersenyum pada Dana. "Tapi Ibu gue bilang, kalo gue gak harus merasa takut sama mereka. Anggap aja mereka itu sama dengan manusia-manusia lain. Bedanya bentukan mereka lebih beragam. Itu doang," ia mulai sedikit rileks.
Anggaplah bahwa ini seperti waktu dia menjelaskan pada teman-temannya di sekolah lama. Bagaimana mereka menganggap Jane dan keunikannya itu sebagai suatu keajaiban dunia. Meskipun setelahnya mereka menjadi merepotkan Jane dalam berbagai hal.
"Pasti lo pernah tertekan, kan?" Atra kali ini yang bertanya. Dia diam sebentar saat merasakan atmosfer meja itu yang mulai berubah menjadi tidak enak untuk kembali dengan melanjutkan. "Maksud gue, kalo dari cerita-cerita orang yang gue baca di thread twita, atau website, mereka kadang suka diminta bantuan sama makhluk itu. Ya, semacam itu, deh," ia mencoba untuk menghentikan pembicarannya dengan mulai mengajukan pertanyaan soal persiapan mereka untuk ujian harian Fisika minggu depan. Tak lagi membahas soal Jane dan gimana gadis itu berkomunikasi dengan makhluk-makhluk tersebut.
Setelah menyelesaikan nasi goreng sedikit keasinannya, Pita kini bertanya. Menarik kembali rasa penasarannya soal tangan boneka kayu yang dibahas seluruh siswa SMA Nusantara sepanjang obrolan di kafetaria.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lempar Umpan, Sembunyi Tangan
Fiksi RemajaTacenda (Sesuatu yang lebih baik tidak diungkapkan) Ada satu kasus pencurian misterius di SMA Nusantara dan Atra sebagai ketua divisi Kedisiplinan dan Keamanan OSIS ditugaskan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dia berkenalan dengan si gadis indigo...