Dua Puluh Dua. Ulangan Biologi Dadakan

38 9 2
                                    

Setelah adegan berbaikan dengan Ayah yang sepertinya menjadi awal dari senyum tipis Atra pagi itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah adegan berbaikan dengan Ayah yang sepertinya menjadi awal dari senyum tipis Atra pagi itu. Lelaki berusia 17 tahun itu pun pamit selepas Ibunya sadar dan selesai ditangani dokter. Ia bertemu dengan Tante-nya yang melepas Atra di lapangan parkir setelah memasukkan satu sandwich untuk cowok itu makan—padahal Atra sudah sarapan. Lantas sekarang setelah menyelesaikan pelajaran terakhir sebelum istirahat pertama dimulai, Atra bersama dengan Dana keluar paling terakhir.

Sahabatnya itu masih asik mencatat sedangkan Atra menyusun beberapa nama yang kena razia pagi ini.

"Atra!"

Kedua orang itu menoleh, melihat Ciko masuk ke dalam kelas IPA 1 dengan kacamata baca masih ia kenakan. "Lo belum ke kantin? Oh, masih nunggu Dana kelar."

"Hai, Ko."

"Yo, Dan."

Atra memasukkan buku kecilnya ke dalam ransel, lantas melirik anggotanya yang sudah duduk di kursi di depannya—kursi milik Jane. "Kenapa?" ia bertanya heran.

"Gue mau makan bareng kalian, hehe. Sekalian diskusi soal rapat festival nanti pas pulang."

"Ohh, kita beneran kebagian divisi Acara?"

Ciko mengangguk. "Karen yang masukin. Padahal gue udah minta keamanan, tapi dia kekeuh masukin kita berdua di Acara."

Dana melirik setelah memasukkan buku catatannya ke dalam ransel. "Udah mau festival, ya?"

"Awal Maret, Dan. Lo udah selesai nyatetnya?"

Melihat anggukan Dana, mereka bertiga menjadi orang yang terakhir keluar dimana Atra menutup pintu kelas rapat-rapat lantas berjalan menyusul Dana serta Ciko. Mood cowok itu bisa dibilang sangat baik, bahkan mata elangnya tak terlihat di balik bola mata hitam legam tenangnya. Seluruh murid menatap sosok Atra kini dengan santai, tak lagi waspada atau pura-pura tak melihat.

Ketiga cowok itu masuk ke kafetaria yang berisik juga penuh. Seluruh siswa SMA Nusantara berkumpul dalam 1 ruangan sehingga tak heran kalau kafetaria menjadi titik paling penuh dan paling mudah untuk siapa saja berbuat masalah—karena ada beberapa orang yang tak menyadari masalah datang atau orang-orang yang memanfaatkan keadaan yang ada.

"Gue yang pesen nasi gorengnya. Kalian berdua cari meja aja," Atra memberi perintah pada Ciko dan Dana yang segera mengangguk. Cowok itu sudah berjalan mantap ke warung nasi goreng sebelum dia melirik kembali ke belakang. "Jangan ke meja—yah, udahlah," ia mengela napas pendek saat menemukan Dana sudah duduk di samping Pita dengan Ciko yang duduk di sampingnya.

Karena kafetaria sudah terlalu ramai, pasti akan sulit mencari meja dengan kursi kosong. Lantas Dana selalu memilih meja Pita yang dulu hanya diisi perempuan itu sendirian, namun sekarang ada Jane yang menemaninya.

Membuat Atra tidak mampu buat protes.

"Halo, Atra!"

Pita seperti biasanya, menyapa Atra riang saat menemukan lelaki itu datang meletakkan nampan berisi tiga piring nasi goreng untuk dirinya serta dua cowok yang segera mengambil bagian masing-masing.

Lempar Umpan, Sembunyi TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang