Tiga Belas. Semakin Membingungkan

38 9 2
                                    

Terkadang kita tidak pernah dapat memprediksi apapun, sebaik apapun kita merencanakan suatu hal sampai terperinci

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terkadang kita tidak pernah dapat memprediksi apapun, sebaik apapun kita merencanakan suatu hal sampai terperinci. Tetap saja, segala hal akan berbentuk sebagai takdir yang tak dapat diganggu gugat. Jane merasakan itu, menatap kericuhan anggota kelasnya setelah mati lampu terjadi. Melihat teman-temannya yang ketakutan barang mereka hilang akibat ditinggal untuk kegiatan olahraga. Membuatnya jadi ikutan panik meskipun dia tidak begitu peduli kalaupun saat ini barangnya yang hilang.

"Tenang, semuanya tenang!" Roy menatap 23 siswa kelasnya yang langsung mengatupkan bibir setelah mendengar teriakan Roy yang tak kalah keras dengan teriakan marah Atra sewaktu mengatasi aksi tawuran sebulan lalu. Begitu mereka habis menyelesaikan UTS. "Atra dan timnya sekarang lagi bergerak ke sana—gue bilang diem, Tan!" cowok itu mengintrupsi Titan yang sempat berniat pergi ke gedung A. "Kita harus kerjasama dengan OSIS, karena di sini posisi gue bukan cuma ketua kelas kalian doang. Tapi gue anggota OSIS, gue satu keanggotaan intra dengan Atra dan gue gak pengin rencana kita nangkep pelaku itu gagal."

Salah satu dari perempuan mengangkat tangan, kalau tidak salah bernama Rara. "Gimana kalo mereka gak berhasil? Kelas kita jauh, Roy! Di ujung lorong pula."

"Justru itu, Ra. Kalo kita berbondong-bondong lari ke sana, pelakunya gak ketangkep. Atra gagal nyelesain tugasnya."

Cowok itu menyugar rambutnya. "Sekarang kita tunggu di sini, sampai ada telepon dari salah satu anggota DK," Roy menatap anggota kelasnya penuh harap, berharap bahwa mereka mau bekerjasama dengannya. "Guys, please. Barang kalian tetap aman meskipun sempat diambil sama pencurinya. Karena Atra bakal nangkep pelakunya. Just trust him."

Beberapa dari mereka ada yang mengangguk untuk menuruti kemauan Roy dengan duduk kembali di lantai gedung olahraga yang licin. Sedangkan beberapa lagi masih berdiri dengan perasaan cemas, memikirkan barang-barang elektronik maupun dompet mereka yang tidak dibawa selama olahraga. Roy sendiri baru saja ingin duduk, meluruskan kakinya, menatap langit-langit gedung olahraga sampai suara Ani memecah atensinya.

"Apaan?"

"JANE GAK ADA, JIR!"

Sejak Roy mulai menyita atensi anggota kelasnya, Jane berusaha melipir hingga dapat keluar dari gedung olahraga. Dia baru menyadari bahwa Pita tidak ada sejak mereka dikumpulkan di dalam gedung. Gadis itu mengikat rambutnya asal selagi kakinya terus bergerak memasuki koridor gedung C, melewati ruang musik dimana kelas 12 Bahasa 1 masih asyik bernyanyi dengan guru seni, atau kelas 10 Bahasa 3 yang gaduh akibat tidak adanya guru dan sekarang mati lampu.

Langkah perempuan itu mulai berbelok, melewati koridor yang menyambungkan gedung C dengan gedung A sampai dirinya menabrak seorang cowok ber-hoodie hitam dan keduanya sama-sama terjatuh.

"Aw, sialan," Jane berusaha berdiri, menatap sosok cowok yang hanya meliriknya tanpa mengambil dua pulpen yang jatuh dari plastik yang dia pegang. Sampai cowok itu sudah berlari beberapa langkah darinya, Jane menyadari sesuatu. "WOI MALING!"

Lempar Umpan, Sembunyi TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang