Lima. Ternyata oh Ternyata

42 12 0
                                    

Entah mengapa pagi hari Jane tidak pernah berjalan mulus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Entah mengapa pagi hari Jane tidak pernah berjalan mulus. Mungkin karena dia masih belum terbiasa dengan jadwal keberangkatan angkutan umum Jakarta. Terutama transjakarta yang kadang bisa lebih ngaret dari jadwal yang tersedia di aplikasi. Gadis itu kembali datang di menit-menit terakhir bel masuk. Bersama dengan pasukan murid SMA Nusantara yang ikut turun bersamanya. Mereka berlari kecil masuk ke sekolah yang bahkan masih gerbangnya masih terbuka lebar. Entahlah, mereka mungkin terlalu lebay. Padahal di sana kemungkinan hanya ada Atra, Pak Todi, dan dua petugas OSIS dari Divisi DK yang merupakan bawahan Atra.

Gadis itu baru saja masuk sebelum terdorong kembali ke samping dan hampir jatuh bila salah satu murid berwajah tenang menangkap tubuhnya dimana Jane dapat melihat nama siswa itu, Septian, tampak tersenyum padanya. Cowok itu berkata padanya untuk hati-hati, lalu meninggalkan Jane yang mengulum bibir, melirik kerumunan di dekat meja pengawas yang mana terdengar orang yang memberontak.

"Apa sih?! Lo bisa-bisanya nuduh gue cuma karena lingkar tangan gue pas sama lingkar tangan boneka kayu ini?"

Jane sebetulnya mau buru-buru pergi, tapi dia bertemu Pita yang baru keluar dari koridor IPS dan menariknya ke kerumunan. Di sana, dia dapat melihat Atra yang berdiri tenang sembari memasukkan dua tangannya ke saku blazer, sedangkan Pak Todi menatap tajam murid dengan pakaian berantakan seperti biasanya—yang tidak lain adalah Reksa.

"Kamu memang masih bisa mengelak, Reksa. Tapi bukti di kaki kamu juga valid! Ini," pria paro baya itu menunjukkan sebuah cetakan foto yang meskipun jauh, dia dapat mengetahui bahwa itu adalah potret besi yang ada di dinding beton—sebutan dinding sekolah penuh besi di atasnya sebagai tempat paling sering digunakan siswa untuk meloncat keluar area sekolah, tanpa peduli bagian tubuhnya bisa terluka. "Ini, kaki kamu yang diperban buktinya. Kamu pelakunya," ucap Pak Todi sembari menunjuk salah satu pergelangan kaki Reksa yang diperban.

Cowok itu tergelak. "Pak, saya udah bilang kemarin sore saya jatuh dari motor—"

"Alasan lo, pencuri!" sahutan siswa yang geregetan di antara kerumunan pun memotong kalimat laki-laki berambut acak-acakan itu.

Reksa di pandangan Jane tampak mengatupkan bibir, tangannya terkepal. "Bacot lo anjing!"

"Udah, Pak. Keluarin aja, keluarin. Bikin resah sekolah aja!"

"Au, kenapa dah waktu SMP cuma diskors? Harusnya mah keluarin sekalian."

"Emang, nih. Dana-nya sih, baik banget sampe gak pengin Reksa keluar dari sekolah. Padahal udah tau temennya nyuri duit dia."

"Najis lo, Sa!"

Masih banyak sahutan lainnya sampai Jane memerhatikan Atra yang sejak tadi diam akhirnya mengeluarkan suara yang tenang namun tajam.

"Diam, ini jadi kewenangan sekolah dan OSIS!" ucap pria itu dan untuk pertama kalinya Jane paham kenapa seluruh siswa takut pada Atra. Lelaki berwajah tenang itu sebetulnya punya sifat yang keras. Cara bicaranya yang tegas dan tajam, serta mata kecilnya yang nyalang menatap satu per satu murid hingga bola mata hitam legam itu bertemu dengan bola mata kecokelatan milik Jane. Cowok itu terlihat mengatupkan bibir, lantas mengalihkan pandangan masih dengan tatapan berwibawanya.

Lempar Umpan, Sembunyi TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang