Dua Belas. Semua Mulai Jadi Abu-abu

51 10 0
                                    

Jalanan Ibukota yang masih sama, lalu lintas yang tidak dapat diprediksi, cuaca pagi hari yang terik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jalanan Ibukota yang masih sama, lalu lintas yang tidak dapat diprediksi, cuaca pagi hari yang terik. Semuanya cukup untuk menjelaskan bahwa mungkin hari ini tidak akan ada keajaiban bagi perempuan yang hari ini memiliki rambut bentuk segi itu. Rambutnya dipangkas hingga sedikit di bawah ketiak, meninggalkan rambut panjangnya yang dulu sepinggang. Entah mengapa setelah bertemu dengan tuan KW dan bernegosiasi hal yang awalnya meragukan untuk sosok tinggi besar itu, Jane perlu menunjukkan sisi barunya sedikit di depan Senjagatra yang mungkin pagi ini sudah berjaga di area gerbang sekolah. Sekarang sudah pukul setengah 6 kurang 5 menit, dan bel masuk akan dibunyikan pukul 7 kurang 20 menit.

Gadis itu berjalan ke pintu otomatis bersama beberapa siswa yang naik transjakarta hari itu. Mereka turun berbondong-bondong lalu jalan santai ke gerbang yang masih dibuka lebar. Cewek itu dapat melihat sosok cowok bermata kecil dengan blazer merah bata yang khas, di sampingnya ada Reni dan Fred. Sekarang Jane sudah hapal anggota Divisi DK akibat pertemuan mereka Jum'at lalu.

Cewek itu membetulkan rambutnya, lalu berjalan mendekati sosok cowok yang berdiri kaku memperhatikan tiap siswa yang datang sebelum menyadari sosok perempuan yang sudah tak asing baginya.

Jane tersenyum tipis. "Hari ini gue bakal nemuin satu petunjuk dari kuntilanak di kelas," ucap cewek itu langsung, menyita atensi beberapa siswa yang sempat mendengar sewaktu berjalan melewati divisi DK dengan wajah merunduk takut.

Reni melotot. "Hah? Di kelas IPA 1 ada kuntilanak?" ia malah lebih kaget soal kuntilanak yang disebutkan oleh Jane. "Sumpah, Jane? Tuh, Fred! Waktu LDKS akhir Agustus, gue bener dong pas liat pojokan deket kursinya Roy ada mbak Kunti!" ia merengek pada Fred yang hanya tersenyum kaku dengan wajah pias.

Soalnya dia memang melihat sosok itu, tapi karena dia tidak mau membuat Reni dan dua teman sekelompok mereka saat itu makin ketakutan, maka dia buru-buru bilang bahwa mungkin Reni salah lihat.

Sedangkan Atra yang tampaknya tidak perduli itu hanya mengangguk. "Oke."

"Eh?"

"Um, Jane," Fred menepuk bahu perempuan itu, membuat Jane menoleh cepat. "Sana ke kelas, kita lagi bertugas jadi pengawas," kata cowok itu, mengusir Jane secara halus. Terlebih dia dan Reni tahu bahwa saat mereka bertemu Atra pukul setengah 5 tadi, cowok itu memang sudah kusut dengan wajah kaku yang mampu membuat beberapa siswa lebih milih merunduk alih-alih berjalan tegap melewati mereka tanpa takut melakukan kesalahan baik dari segi seragam hingga potongan rambut maupun warna rambut.

"Oh," gadis itu mundur sesaat dan melirik Atra sekali lagi. "Gue yang bakal menang, Tra. Liat aja lo!" cecarnya lagi, sebelum lanjut melangkah sampai seorang cowok mengintrupsinya. Sosok itu adalah Reksa, dengan seragam yang sedikit rapi pagi ini namun tetap saja dasi abu-abu itu tidak ada.

Reni segera mencatat poin untuk Reksa dari jauh setelah menyuruh cowok itu dengan lantang untuk mengenakan dasinya. Reksa bersungut, mengambil dasi dari saku celananya sembari mengajak berbicara perempuan yang tampak berbeda hari ini.

Lempar Umpan, Sembunyi TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang