Dua. Si 'Pelaku' dan Si Penyintas

76 11 2
                                    

Kebanyakan orang menilai orang lain melalui apa yang pernah mereka lakukan, entah itu kebaikan dan keburukan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kebanyakan orang menilai orang lain melalui apa yang pernah mereka lakukan, entah itu kebaikan dan keburukan. Sehingga setelah mereka dapat berspekulasi tentang orang itu. Mereka tidak pernah peduli baik itu kebenaran ataupun sebuah kekeliruan, yang terpenting adalah apa yang ingin mereka nilai dari apa yang terlihat. Begitulah Reksa di mara Atra, cowok yang tidak hanya bandel, tapi juga dicap sebagai pencuri meskipun kasus kali ini seakan-akan mempersulit Atra untuk menjatuhkan hukuman pada Reksa. Walaupun cowok bernama lengkap Muhammad Reksa Ghana memiliki catatan kriminal mengenai pencurian uang sewaktu dirinya kelas 9, tetap saja kali ini Atra tidak dapat mencebloskan cowok itu dalam hukuman sekolah yang kemungkinan akan berdampak pada masa depan Reksa di SMA Nusantara—alias kena drop out.

Sehingga Jane dapat menyimpulkan bahwa apa yang membuat Atra kekeh mengenai Reksa sebagai calon pelaku utama rasanya tidak salah juga, meskipun gadis itu tidak sepenuhnya yakin. Dia hampir bertanya pada mbak K yang selalu mengintilinya semenjak tahu bahwa Jane dapat melihatnya, namun perempuan itu tidak mau melakukan hubungan timbal balik hanya untuk sebuah kasus yang bahkan baru dia ketahui hari ini.

Dia sudah terlalu muak berurusan dengan masalah para hantu yang selalu ada di sekitarnya.

"Jane, astaga lo lagi sinis ke siapa, sih?" Pita menyenggol gadis itu, mendorong mangkuk bakso yang dia bawa karena Pita meminta Jane untuk mencari tempat di kafetaria selagi cewek itu memesan makanan mereka berdua. "Di depan lo, kan, dari tadi kosong," kata gadis itu, setengah mendumal soal keramaian warung bakso. "Sumpah, ya, karena lagi promo 18 ribu dapat bakso telur sama milkshake, jadinya penuh banget."

Jane tersenyum canggung. "Gue bayar pakai uang elektronik boleh, gak? Gue lupa cairin uang kemarin, jadi gak pegang receh," ujarnya, mulai menuangkan saus ke dalam kuah bakso yang tampak bening sebelum akhirnya berubah kemerahan.

Pita terkekeh. "Santai, bayarnya besok juga gak apa-apa," tapi setelahnya cewek itu melanjutkan. "Tapi beneran dibayar, ya! Walaupun gue bilang besok-besok aja. Ngutang sama dengan mati."

"Jir, TBL, Takut Banget Loh," Jane tertawa kecil. Ia merasa nyaman karena Pita itu orangnya lucu meskipun bawel dan centil abis. Apalagi pada Dana, cowok yang duduk di samping Atra, cowok terpintar di sekolah—kata Pita—dan cowok paling ganteng serta tinggi di sekolah—kata Pita lagi. "Eh, iya, Jane. Lo pindahan dari SMA mana, sih?"

Gadis yang tengah membelah bakso telurnya menjadi dua itu mendongak. "Smandu."

"SMA 2 maksud lo?"

Jane mengangguk.

"Ooh, gue pernah denger, sih. Tapi gak tau dimana, gak pernah ke Bekasi. Jauh juga," balas cewek itu.

Sekarang Jane berubah sinis. "Maksud lo?"

"Luar planet, Jane," canda Pita, sebelum kena pukulan ringan dari Jane.

Lempar Umpan, Sembunyi TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang