Tiga Puluh Satu. Persahabatan Tiga Cowok Itu

31 8 0
                                    

Siang itu Sekolah Dasar Nusantara begitu ramai di hari Sabtu menyenangkannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Siang itu Sekolah Dasar Nusantara begitu ramai di hari Sabtu menyenangkannya. Mereka selalu mengadakan hari bahagia tiap Sabtu—yang akan diisi oleh pentas seni teater dari ekskul teater atau bagaimana proses mereka latihan di auditorium. Ada juga pertunjukan klub paduan suara, sampai kegiatan melukis masal untuk anggota ekskul lukis di lapangan outdoor yang luas.

Akan tetapi, untuk bocah laki-laki yang baru satu bulan menjadi siswa kelas 1 SD itu hanya duduk diam sejak pukul 9 pagi. Waktu dimana sekolah hari Sabtu dimulai dan berakhir di pukul 2 siang. Hari Sabtu menyenangkan untuk siswa Sekolah Dasar Nusantara rasanya cukup berbeda bagi bocah Senjagatra itu.

Dia hanya membaca buku, dengan wajah serius dan kaus putih bergambar batman yang begitu bersih. Sangat beda sekali dengan kebanyakan siswa yang kausnya saja sudah lecek atau bau apek.

Bocah itu memang berbeda. Dia hanya anggota klub olimpiade yang bahkan memilih untuk baca buku di bawah pohon beringin yang meneduhinya. Alih-alih bergabung bersama anggota ekskul lain yang sedang latihan soal sambil bernyanyi.

Sungguh bocah laki-laki yang begitu monoton—Abangnya sih yang bilang kalau Atra itu ngebosenin. Mereka jarang bertengkar soal mainan. Karena Atra lebih marah buku sakunya direbut Bang Langit alih-alih mobil tamiyanya rusak.

"Aduh, jingg! Sakit bangett!"

Kali ini Atra mendongak, menatap seorang anak laki-laki seusianya—yang dilihat dari bet nama yang menunjukkan letak kelas cowok itu; kelas 1 B. Selain itu, Atra mengenalnya dengan jelas karena mereka berada dalam 1 kelas yang sama.

Namanya Reksa Ghana—hampir mirip salah satu lambang di pelajaran Fisika, Gama.

Reksa menatap Atra dengan buku latihan yang dia pegang, sebelum cowok itu berdiri setelah menepuk-tepuk pantatnya. "Oh, Atra, kan? Gue Reksa. Reksa Ghana. Lo pasti kenal temen se-ekskul lo, kan? Namanya itu Dana Rafathar! Dia sahabat gue," seperti tampilannya yang begitu berantakan dan banyak bekas luka. Anak ini juga terkenal gaul dan jahil. Bahasanya pun mirip sama bahasa milik Bang Langit kalau sedang mengobrol dengan teman-temannya di SMP.

Atra tersenyum. "Iya, kenal. Tapi aku gak deket sama dia."

"Loh, kenapa? Kita satu kelas juga, lho. Parbet sih, gak deket sama temen sekelas sendiri. Satu ekskul lagi," Reksa malah berbicara dengan bahasa yang sungguh tidak Atra mengerti.

Apa pula parbet?

"Nah, itu Dana. Dan!! Sinii!!"

Padahal Atra sangat menyukai kesendiriannya, tetapi Reksa yang tahu-tahu duduk di sisi kosong sampingnya sudah berteriak nyaring. Memanggil Dana buat mendekati mereka. Cowok dengan perawakan jangkung dan kacamata minusnya itu mendekat selepas berbicara dengan Bu Tati—pembimbing ekskul olimpiade.

"Kamu ngapain di sini, Sa?" Dana bertanya heran, duduk di samping Reksa sambil menatap sahabatnya bersama dahi berkerut.

Reksa nyengir, menunjukkan satu gigi yang sudah tanggal dua hari lalu di dokter gigi langganan keluarga mereka. Gigi itu sudah patah karena kepentok pintu dan Ibu buru-buru membawa Reksa ke dokter gigi akibat gigi patah itu copot sebelum waktunya.

Lempar Umpan, Sembunyi TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang