Hidup adalah sebuah perjalanan yang tidak dapat ditebak kemana arahnya. Kita tidak dapat meminta sebuah perjalanan yang mulus, kehidupan bahagia dan bebas, atau rencana yang selalu berhasil. Sehingga, setiap hari rasanya akan selalu ada perasaan lelah dan ingin cepat-cepat pergi dari dunia alih-alih menunggu datangnya hari esok. Hanya orang-orang hebat yang dapat berkata 'Oke, mari mulai dari awal lagi' seraya lupa bahwa memulai dari awal artinya mencoba lagi dan lagi walaupun tahu keberhasilan itu masih menjadi fana.
Remaja laki-laki dengan wajah tenang serta kacamata yang turun dari hidungnya, pun mengela napas pendek. Mengencangkan perban di tangannya yang penuh lebam akibat kena pukul sebilah kayu, lantas menatap buku cetak di depannya.
Dia tersenyum lebar, membenarkan posisi miring dari kayu penyangga laptop. Lalu menekan tombol mulai pada stopwatch di atas meja belajar, lantas kembali belajar.
Remaja itu, Dana, membenarkan kembali jawaban yang salah. Mengatur ulang posisi penghapus yang miring, melirik saat salah satu susunan bukunya bergerak akibat Dodo, kucing kampung berbulu hitam serta bola mata hitam legam yang bulat menyenggolnya.
Dana tersenyum, mengusap lembut bulu kucing itu sebelum membenarkan letak buku cetak di rak lantas kembali belajar.
Dia harus fokus.
"Dana."
Mama masuk, membawa nampan dengan segelas susu dan pancake di piring kecil. Wanita paro baya itu meletakkan keduanya di samping buku anak laki-lakinya, tersenyum lebar.
"Masih ada yang salah?"
Dana menggeleng, senyumnya tampak lebar saat menjawab. "Udah nggak, Ma."
"Bagus, kali ini jangan kalah sama Atra. Kamu udah berhenti OSIS, harusnya bisa dapet peringkat satu pas Kimia kemarin," ujar beliau pelan, menarik kursi lain sembari melihat hasil kerjaan anak kesayangan dan satu-satunya itu. Dia mengacak rambut Dana gemas. "Nanti Kak Fafa ke sini, jam 8 malam. Kamu langsung ke ruang belajar aja ya abis nyelesain soal kelima."
"Oke."
Wanita itu pun keluar.
Di sisi lain, Atra duduk di kursi samping tempat tidur seorang wanita yang baru saja terlelap. Dia mengela napas pendek, mengusap punggung tangan Ibunya pelan dengan wajah yang begitu sedih. Mungkin jika semua siswa di sekolahnya melihat Atra malam ini, mereka akan berhenti menyebut remaja berusia 17 tahun itu sebagai sosok tanpa hati. Karena kenyataannya Atra hanyalah cowok yang kesepian.
"Atra."
Malam itu Tante Anggun datang, menatap keponakannya yang masih mengusap punggung tangan Ibunya penuh sayang namun juga lelah.
"Kamu makan malam dulu sana. Bi Tuti udah buat ayam rica sama sayur asem."
Atra menoleh. "Iya, Aunty," ia berdiri, sekali lagi melirik Ibunya sebelum berjalan mendatangi pintu kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lempar Umpan, Sembunyi Tangan
Novela JuvenilTacenda (Sesuatu yang lebih baik tidak diungkapkan) Ada satu kasus pencurian misterius di SMA Nusantara dan Atra sebagai ketua divisi Kedisiplinan dan Keamanan OSIS ditugaskan untuk menyelesaikan kasus tersebut. Dia berkenalan dengan si gadis indigo...