Delapan. Harus Gimana, Coba?!

38 9 1
                                    

Terkadang tindakan impulsif itu dibutuhkan, tetapi harusnya lebih baik ditahan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terkadang tindakan impulsif itu dibutuhkan, tetapi harusnya lebih baik ditahan. Efek dari tindakan impulsif dapat membuat orang tenggelam pada rasa bersalah sampai perasaan menyesal yang berakibat hingga kegiatan orang itu jadi hancur. Coba saja lihat Anggita Januari, yang mengetuk-ketuk ujung sepatunya sembari tak memerdulikan Pita yang menatapnya heran, dua tuyul yang menertawakannya, tak lupa beberapa teman sekelas yang melihatnya dengan syok sebelum tersenyum kaku dan buru-buru pergi.

Memangnya Jane itu setannya? Atra brengsek.

"Sumpah, Ta," gadis itu menghentikan dua kakinya yang mengetuk-ketuk, menatap temannya dengan raut wajah memelas. "Apa gue mendingan minta maaf aja, ya? Ih, najis. Gak, gak, gue gak mau minta maaf sama Atra. Itu cowok nyebelin banget! Bawahannya apalagi," dia berubah menggerutu, padahal sebelumnya dia sempat bertanya perihal meminta maaf.

Pita tergelak. "Jane, gimana sih? Bukannya lo yang nantang dia buat nyari pelakunya?" perempuan itu menggeleng-gelengkan kepala karena heran. "Udahlah, jalanin aja. Gampang, kan? Lo tinggal nanya sama hantu Mbak K di kelas, atau di ruang kelasnya Freya. Nanti gue bantuin!"

"Bukan itu masalahnya, Ta," Jane mengela napas. "Bagi lo, atau si Mila itu, keliatannya emang gampang. Tapi bagi gue sulit. Kenapa? Karena hantu-hantu itu perhitungan! Mereka sama aja kayak manusia kebanyakan, Ta. Harus ada bayaran dari apa yang mau kita tahu, yang kadang permintaan mereka gak logis. Gue pernah diminta hantu Nenek-nenek nyari cucunya, mana cucunya ada di pulau seberang! Sinting banget," ia memijit pelipisnya sambil mengingat dirinya yang nekat ke pulau seberang atas permintaan Papa yang pengin tahu pencuri motor-nya. Emang habis itu motornya ketemu, tapi ongkos ke pulau seberang itu kan gak murah!

Bola mata Pita yang bulat itu semakin terbuka, mulutnya menganga lebar. "Beneran? Itu karena apa?"

Jane mengangguk sambil mendelik jengkel. "Bokap gue pengin motornya balik, terus minta tolong sama hantu di rumah gue yang di Bekasi. Tapi si hantu malah minta sampein pesan ke cucunya. Kita ke pulau seberang ketemu cucunya buat kasih tau pesan itu dan gak lupa harus divideoin. Asli dah, motornya emang ketemu, tapi ongkos ke luar pulaunya gak nanggung-nanggung."

"Parah juga, ya," Pita bergumam sambil melirik ke arah kiri dimana suara Karenina yang cukup dikenalnya semasa kelas 10 pun membuat perempuan itu menoleh. "Oh, Karen!"

Mendengar nama asing begitu pula suara perempuan yang mendekat, Jane menoleh lantas menemukan seorang perempuan bermata tajam dengan rambut hitam lurusnya yang tampak berkilauan terbawa angin siang itu. "Hai," perempuan itu melirik Jane, bola matanya membulat. "Lo cewek yang ada di foto sama Atra!" serunya heboh.

"Eh?"

"Hah?"

"Nggak, nggak. Lupain aja," Karenina mengambil posisi duduk di antara dua perempuan itu. Sehingga Jane merasa asing hanya dengan duduk di samping cewek dengan wajah jutek ini. Apalagi kerudung perempuan itu yang sudah terbuka membuat Jane sebal, karena dia masih belum berani melepas kerudungnya meskipun dia jelas sudah keluar dari lingkungan sekolah. Tapi bayangan Atra yang mengejeknya tadi pagi membuat Jane semakin jengkel.

Lempar Umpan, Sembunyi TanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang