Wali kelas mereka sekaligus guru mata pelajaran sastra Inggris sedang berada di depan kelas untuk menjelaskan tugas yang beliau berikan sebelum menutup pertemuan hari ini. Banyak siswa sekelasnya yang sudah tidak sabar untuk keluar dan menuju kantin. Untungnya wali kelas mereka itu seorang yang santai, jadi tidak ada sesi pemberian ceramah yang bisa saja memperpanjang waktu mereka di dalam kelas.
"Aaahh, males banget buat pidio lagi." Ayli menyatakan ketidaksukaannya pada tugas yang baru saja disampaikan oleh Pak Rizal.
Teman-teman yang duduk di kedua sisinya juga menyetujui apa yang terlontar dari bibir Ayli. Rasanya benar-benar malas membuat tugas video, apalagi ini sejak pertama kali mengikuti pelajaran Pak Rizal sudah memberikan mereka tugas video. Entah untuk kali ini sudah terhitung yang keberapa.
Selesai memberikan tugas, Pak Rizal mulai bersiap-siap dengan merapikan buku yang digunakannya lalu disimpan di lemari kelas. Karena menjadi wali kelas di sana, kelas itu berada di bawah tanggung jawabnya, pun jadinya beliau bisa menggunakan fasilitas yang ada di dalamnya. Ketika akan keluar, pria paruh baya itu menghentikan langkahnya karena dering ponselnya. Tidak lama setelah mengangkat panggilan yang masuk, kemudian beliau kembali ke dalam kelas.
"Ayli," panggilnya seraya menghampiri tempat duduk gadis itu.
Ayli yang sebelumnya sedang mendiskusikan tugas dengan teman-temannya segera menoleh. "Iya, Pak?"
"Setelah jam istirahat ini saya masih punya kelas di MIA 1, tapi karena ada urusan saya minta tolong nanti kamu sampaikan tugas ke kelas mereka. Tugasnya sama seperti yang tadi kalian kerjakan. Kerjakan di kertas lalu dikumpulkan dan disimpan di lemari. Jangan lupa tugas membuat videonya."
"Iya. Baik, Pak."
"Saya sudah beritahukan ketua kelasnya, nanti tinggal kamu sampaikan, ya."
"Aman, Pak."
"Terima kasih. Kalau begitu saya pamit."
Setelah kepergian Pak Rizal, sebagian besar siswa Ilbad langsung keluar kelas untuk menuju kantin. Waktunya untuk mengisi perut.
"Nisa," panggil Ayli. Setelah temannya itu menoleh, dia langsung mengutarakan keinginannya. "Temenin ke MIA 1, yuk."
"Oh, oke. Abis itu ke kantin ya."
"Iya."
Setelah menunggu Nisa menyimpan buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas, mereka berdua langsung keluar kelas, siap menuju Gedung Sains.
Hanya ada hening yang menyelimuti selama perjalanan mereka. Netra masing-masing sibuk melihat ke segala arah, para siswa lain yang bergegas menuju ke kantin atau hanya sekadar duduk di depan kelas sambil bercerita.
Begitu tiba di Gedung Sains, puluhan anak tangga harus ditapaki untuk mencapai lantai tiga. Melelahkan tentu saja, tetapi ada amanat yang perlu disampaikan. Untungnya kelas 10 MIA 1 berada tepat di sisi kanan tangga.
Tiba di depan kelas, terlihat para siswanya yang masih belum meninggalkan kelas. Mereka masih asik berdiam di kelas dan tampak mengobrol satu sama lain.
Memberanikan diri, Ayli pun melangkah lebih dekat ke pintu lalu mengetuknya. Setelah itu semua pasang mata menoleh padanya, gugup seketika menyelimuti.
"Halo! Ada perlu apa? Atau mau nyari seseorang?" Seorang siswa perempuan yang duduk di dekat pintu bersuara, ramah dan hangat.
"Ah iya, mau nyari ketua kelas."
"Oh, si ketu, toh." Siswa perempuan itu lalu menatap ke arah lain. "Liam! Lo dicariin, nih!" Dia berseru pada laki-laki yang duduk di sisi kelas yang berlawanan dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Our Princess
Teen FictionMerupakan putri tunggal dari sang papa, apalagi papanya itu orang tua tunggal, membuat Ayli harus menerima semua aturan yang dibuat. Sebenarnya bukan hanya status sebagai putri tunggal dari sang papa yang dia sandang, tetapi juga cucu perempuan satu...