Rasanya 'benar-benar' menjengkelkan ketika merasakan waktu yang berlalu begitu cepat. Buka mata lalu tutup mata, tiba-tiba Ayli sudah dihadapkan pada hari terakhir pengumpulan surat izin untuk mengikuti Kemah Keluarga. Sampai saat ini surat izin milik gadis itu belum juga dibubuhi tanda tangan oleh sang papa. Entah mengapa rasanya sulit sekali mendapati papanya berada di waktu luang sehingga dia bisa meminta tanda tangan.
Sekarang ini ayah dan anak itu sudah berada di ruang makan untuk sarapan. Ayli berusaha bersikap sesantai mungkin. Dia memiliki 'rencana lain' untuk mendapatkan tanda tangan di surat izinnya.
Di sisi lain, Sebastian tentu merasa sikap putrinya itu terlalu santai untuk Ayli-yang-selalu-ingin-mencoba-hal-baru. Sabtu lalu kantornya didatangi oleh Darian dan Ravi. Tujuan mereka adalah untuk memberitahu informasi mengenai Kemah Keluarga itu. Mereka menemui Sebastian agar Ayli tidak mendapatkan izin. Terlalu berbahaya bagi gadis itu untuk berada di ruang terbuka, pikir mereka.
Tidak hanya Sebastian, keluarga Gama serta Aram dan Sesya juga didatangi. Mereka benar-benar berpikir dua langkah lebih maju, bisa saja Ayli meminta keluarganya yang lain untuk memberikan tanda tangan. Segala hal harus segera diatasi.
Karena itu pula pada hari Sabtu lalu hanya Edgar yang mengantar Ayli pulang. Kelima laki-laki lainnya menyusul ketika sudah sore. Beruntung Ayli tidak mencurigai perilaku janggal itu.
Selesai sarapan, keduanya langsung beranjak dari kursi masing-masing. Ayli tidak melupakan bekal yang sudah disiapkan di atas meja. Menyusul sang papa ke dalam mobil, setelah memasang sabuk pengaman dia hanya terdiam sambil menatap ke luar kaca jendela.
Tidak ada lampu merah yang mereka lewati, hanya bundaran yang seringnya macet.
Begitu mobil berhenti tidak jauh dari gerbang sekolah, Ayli segera membuka sabuk pengaman dan menyamankan tali tas di pundaknya. Namun, baru tangannya melayang untuk meraih pembuka pintu, dia berbalik pada sang papa.
"Papa, Ayli lupa," ujarnya pelan. Sekarang adalah waktunya untuk melaksanakan rencananya.
"Ada yang ketinggalan? Nanti bisa Papa anterin, kamu masuk duluan biar gak telat."
"Bukan." Ayli menggeleng dengan cepat. "Ayli butuh tanda tangan Papa."
Sebastian pikir putrinya itu memang tidak ingin mengikuti kemah tersebut, tetapi nyatanya salah. Dia mengembuskan napas pelan. "Papa gak bisa izinin kamu ikut kemah itu, Ayli."
Meskipun sudah menduganya, tetap saja rasanya mengecewakan untuk mendengar penolakan itu. Alhasil mata Ayli berkaca-kaca.
"Boleh, ya, Ayli ikut sekali ini," bujuknya sembari meraih salah satu tangan sang papa. "Tahun depan terus tahun depannya lagi Ayli gak ikut. Beneran, Ayli janji."
"Nanti di sana banyak temen yang ikut, ada guru juga." Dia berimbuh untuk meyakinkan.
Jika sudah seperti ini pada akhirnya Sebastian menjadi tidak tega pada putrinya itu. Apalagi selama ini Ayli memang hanya beberapa kali mengikuti kegiatan sekolah, itu pun tempat pelaksanaan tetap di lingkungan sekolah. Seringnya gadis itu tidak ikut dalam kegiatan sekolah karena tidak mendapatkan tanda tangannya. Dia sangat menyesali dirinya yang selalu sibuk dulu. Bahkan karena kesibukannya, dia tidak memperhatikan putrinya itu.
Kembali mengembuskan napas, tangan Sebastian terulur untuk mengelus lembut pipi putrinya.
"Sini suratnya. Papa mau liat dulu."
Mendengar ucapannya, Ayli seketika mengangkat wajahnya yang sebelumnya menatap ke bawah. Dengan gerakan cepat gadis itu membuka tasnya dan mengeluarkan surat yang diberikan oleh wali kelasnya. Sebastian menerima surat itu dengan enggan. Netranya bergerak, membawa kalimat demi kalimat yang ada di dalam surat itu. Hanya pemberitahuan biasa berserta lampiran izin untuk siswa.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Our Princess
Teen FictionMerupakan putri tunggal dari sang papa, apalagi papanya itu orang tua tunggal, membuat Ayli harus menerima semua aturan yang dibuat. Sebenarnya bukan hanya status sebagai putri tunggal dari sang papa yang dia sandang, tetapi juga cucu perempuan satu...