Ada yang cukup tidak dia sukai, yaitu ketika munculnya jarak dengan orang-orang yang sebelumnya selalu berada di sekitarnya. Meskipun nantinya perasaan asing yang tidak menyenangkan itu akan memudar, tetapi tetap saja Ayli tidak suka kala menyadari orang-orang itu tidak lagi bisa dia gapai kapan pun. Dia tidak bisa menjadi orang yang egois atas yang lainnya. Jadi, dia harus mulai membiasakan diri.
Seperti sekarang. Ayli sudah menjadi senior kelas 11 dan tidak ada lagi Javiar serta yang lainnya.
Keempat laki-laki itu telah menyelesaikan ujian mereka tiga bulan lalu. Telah mengurus pendaftaran untuk masuk perguruan tinggi pula, sehingga status mereka sebagai siswa lepas bersamaan dengan itu.
Kini, tidak akan ada lagi yang saling berebut mengantar atau menjemput dirinya.
Tidak juga dengan Darian dan Ravi walaupun keduanya masih berada di sekolah yang sama. Gantian menjadi siswa tahun terakhir, rasanya jadwal mereka kian sibuk dan akan terus bertambah nanti. Apalagi Darian juga akan mengikuti periode terakhirnya sebagai siswa bimbingan untuk olimpiade ekonomi. Kalaupun bukan sebagai siswa yang mengikuti olimpiade tersebut, dia akan membantu membimbing siswa lainnya.
Ditambah dengan bulan ini memasuki bulan kedua masa hukumannya karena kejadian yang telah berlalu lama, Ayli merasa kehidupannya yang sekarang sang monoton. Tentu seharusnya dia merasa biasa saja dengan segala bentuk keprotektifan papanya, tetapi kini ada sang mamy pula yang terlihat lebih protektif. Ayli tidak tahu bagaimana bisa sang mamy melontarkan sejumlah pertanyaan secara beruntun tanpa terlihat memikirkannya terlebih dulu. Seperti semua pertanyaan itu memang telah tersusun dalam kepala.
Pernah sekali Ayli mencoba membujuk sang mamy untuk membolehkannya jalan-jalan bersama teman-temannya seusai pekan ujian semester. Dia menjawab semua pertanyaannya mamy-nya dengan sabar. Namun, itu tidak membuahkan izin. Sungguh dia merasa sia-sia. Setelah hari itu, dia akan berpikir dua kali untuk menghadapi sang mamy.
"Hei, Ay! Ngelamun aja lo."
Ayli sontak menoleh pada Arista yang sudah berdiri di samping mejanya.
"Gue sama yang lain mau keluar, liat adek kelas lagi orientasi. Mau ikut gak?" imbuh Arista.
"Ngapain kepo orientasi mereka? Biasanya kalian pada mager liat gituan."
"Nunjukin diri kalau kita senior." Nisa yang sudah mengambil tempat di samping Arista menimpali. Kalimatnya mengundang munculnya kerutan di kening Ayli. "Canda. Mau jalan-jalan keliling aja, kok. Lagian lo gak bosen di kelas aja?"
"Oh, oke. Ikut kalau gitu."
Kelima gadis itu keluar kelas bersama. Kemudian langsung menuju arah tangga. Mencapai lantai dasar Gedung Budaya, mereka bisa melihat para siswa baru yang duduk di bawah naungan tenda di lapangan. Para anggota OSIS berdiri di depan sana untuk memberikan instruksi.
"Kita gak ada pembelajaran gini sampe besok kayaknya. Nanti kalian mau pulang jam berapa? Gue gak mau lama-lama di sini, kayak orang gak ada kerjaan aja," ujar Yuna setelah mengalihkan pandangannya dari arah lapangan.
"Kalau kalian mau pulang gue juga ikut pulang," jawab Raia. "Eh, kita ke kantin, yuk! Gue pengen minum es."
Kedua alis Ayli hampir menyatu kala mendengar ajakan Raia. Dia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Our Princess
Teen FictionMerupakan putri tunggal dari sang papa, apalagi papanya itu orang tua tunggal, membuat Ayli harus menerima semua aturan yang dibuat. Sebenarnya bukan hanya status sebagai putri tunggal dari sang papa yang dia sandang, tetapi juga cucu perempuan satu...