Sejak membangunkan putrinya tadi, Sebastian dibuat kebingungan-dan khawatir-karena Ayli tidak banyak berbicara pagi ini. Ah, tidak. Sebenarnya sejak kemarin dia pulang. Gadis itu lebih memilih untuk mengangguk dan menggeleng untuk membalas ucapan Sebastian. Jika benar-benar dibutuhkan barulah gadis itu mengeluarkan suaranya.
Mereka berdua tengah berada di ruang makan sekarang untuk sarapan. Ayli menghabiskan sarapannya dengan cepat dalam diam.
"Ayli, kamu kenapa?" Sebuah gelengan kecil lagi-lagi menjawab pertanyaan yang Sebastian lontarkan.
Rasa-rasanya Sebastian ingin berteriak untuk meluapkan frustasinya. Meskipun telah menjadi orang tua tunggal untuk bertahun-tahun, tetapi tidak membuat dirinya serta-merta mengetahui segala tentang putrinya. Ada saatnya di mana dia tidak tahu harus berbuat apa untuk Ayli, seperti saat ini.
Karena yakin tidak akan mendapatkan jawaban apa pun dari putrinya, walaupun sampai dia mendesaknya, Sebastian akhirnya memutuskan untuk membiarkannya. Nanti dia akan bertanya pada anak dari sepupunya, siapa tahu pemuda tujuh belas tahun itu mengetahui tentang sesuatu yang membuat Ayli menjadi seperti ini.
Akhirnya kedua ayah dan anak itu berangkat dalam diam. Tidak ada percakapan yang menghiasi atmosfer di dalam mobil sama sekali. Hingga akhirnya mobil berhenti di depan sekolah, Ayli pamit tanpa suara.
Setelah memastikan putrinya benar-benar telah masuk ke dalam lingkungan sekolah, tidak seperti biasanya, Sebastian tidak langsung kembali melajukan mobilnya. Pria itu meraih ponselnya dan mulai melakukan panggilan pada nomor telepon anak dari sepupunya. Tidak membuatnya menunggu lama, beberapa detik setelahnya panggilan itu langsung diangkat.
"Pagi, Om. Ada perlu apa nelpon Ari? Ayli mau izin gak masuk?"
"Pagi, Ar. Nggak, Ayli hari ini masuk. Om cuma mau tanya sama kamu, soalnya dari kemarin Ayli murung. Kamu tahu Ayli kenapa?"
Darian di seberang sana terdiam untuk sesaat. "Kemarin ada yang isengin Ayli, Om."
Raut wajah Sebastian langsung berubah seketika. Rahangnya mengeras kala memikirkan putrinya mengalami hal seperti itu. Apalagi membuat putrinya sampai murung dan tidak menghiraukan dirinya.
"Siapa orangnya, Ar?" Dia menggeram marah.
"Om gak perlu mikirin itu lagi. Ari sama yang lain udah ngurus orang itu."
Sebastian terdiam sejenak. "Kalau gitu Om titip Ayli ya. Tolong jagain Ayli."
"Iya, Om. Itu pasti."
"Makasih, Ar. Om tutup telponnya ya."
Memutus sambungan telepon, setelah itu Sebastian menyimpan kembali ponselnya. Kemudian mobilnya beranjak dari depan sekolah sang putri.
Benar. Seperti apa yang telah dia sampaikan pada Sebastian, orang yang membuat Ayli menjadi murung sedang menikmati balasan yang dia dan lainnya buat. Begitu mereka mendapatkan informasi mengenai gadis itu, tentu mereka tidak akan membiarkannya tenang lebih lama.
Sedikit mengejutkan kala mengetahui bahwa gadis itu bersekolah di tempat yang sama dengan mereka. Pantas saja kemarin berbicara seakan-akan mengenal Darian. Namun, di sisi lainnya hal itu tentu sangat menguntungkan bagi mereka. Sangat, sangat menguntungkan.
"Siapa, Ri?" Suara temannya, Ravi, membuat Darian membalik tubuhnya.
"Om Tian." Dia membalas dengan singkat. "Semua udah selesai, 'kan?"
"Hm, udah diurus sama yang lain."
Darian menatap jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Masih ada dua puluh menit sebelum bel berbunyi. Ya, itu cukup, dia membatin.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Our Princess
Roman pour AdolescentsMerupakan putri tunggal dari sang papa, apalagi papanya itu orang tua tunggal, membuat Ayli harus menerima semua aturan yang dibuat. Sebenarnya bukan hanya status sebagai putri tunggal dari sang papa yang dia sandang, tetapi juga cucu perempuan satu...