Waktu pulang sekolah telah tiba hampir sepuluh menit yang lalu. Karena di antara mereka tidak ada yang memiliki jadwal piket hari ini, Ayli dan teman-temannya langsung menuju parkiran-tempat biasa yang mereka gunakan sebagai tempat nongkrong sambil menunggu jemputan masing-masing. Beberapa siswa lainnya juga melakukan demikian untuk menghindari panasnya matahari yang masih menyengat di pukul dua ini.
"Rai, Yuna, gak mau ikutan English Club juga? K-Popers, kan, pada jago bahasa Inggris," ujar Ayli sembari menatap kedua temannya itu.
"Gak, mager. Apalagi Pak Rizal yang ngebimbing, turu ajalah gue," balas Raia seraya menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada.
"Hm. Lagian kita jago dari mananya? Masih jatuh bangun gini. Tahunya kalau udah di lagu doang." Yuna menimpali temannya itu.
"Kan, kalo rame bakalan seruu! Sekalian temenin Ayli gitu, biar bareng."
"Lo gak ngajakin gue buat ikut, Ay? Parah, lo lupain gue." Nisa yang duduk di samping Yuna ikut-ikutan dalam pembicaraan itu sambil memasang ekspresi pura-pura sedih. Dia sedari tadi sibuk mengecek ponsel untuk memesan ojek dan membalas pesan dari teman masa kecilnya, jadi Ayli tidak ingin mengganggu.
"Emangnya Nisa mau ikut? Nanti bisa belajar lebih banyak di sana. Yuklah, ikutan! Rai, Yuna, Nisa." Ayli menatap teman-temannya itu satu per satu.
"Gue tetap nggak." Raia menggelengkan kepalanya, kemudian bangkit dengan cepat. "Gue udah jemput, duluan ya!"
"Byee, Raia!" Mereka bertiga kompak berseru pada Raia yang sudah berjalan menjauh.
"Jadi, ... Nisa mau ikut?"
"Bisa aja, sih, tapi masa nanti gue cuma planga-plongo di sana. Kalau dah ogeb, mah, gue gak mau segala ditunjukin ke orang-orang lagi."
"Nah, tuh, nyadar diri juga lo." Yuna menganut dengan jahil sehingga mendapatkan pukulan ringan di lengan kirinya oleh Nisa.
"Jadinya mau atau nggak, Nisaaa!" Ayli jadi gemas sendiri dengan temannya itu yang terlalu banyak berbicara memutar.
"Nggak deh, hehe."
Ingin rasanya Ayli menggigit temannya itu. Sudah dibuat geregetan, sekarang pun malah dibuat kesal. Namun, bukan Nisa namanya jika tidak seperti itu, seringnya mengundang tingkat darah seseorang untuk naik.
"Jemputan gue udah datang, duluan ya!" Arista yang sedari tadi diam sambil menatap ponselnya, berujar seraya bangkit dari duduknya dan berjalan menuju gerbang sekolah tanpa menoleh.
"Udah makin sore, kalian pulangnya gimana?" Ayli bertanya pada kedua temannya yang tersisa.
"Gue dijemput ... eh, itu kakak gue udah datang. Bye kalian!"
"Ojol gue bentar lagi dateng. Lo pulang gimana, Ay?"
"Sama Kak Ravi, udah janji tadi pagi."
"Udah nunggu, tuh, sama yang lain di sana," ucap Nisa sambil menunjuk singkat ke sebuah arah.
"E-eh, dah dari tadi? Perasaan dari tadi diliat-liat gak ada yang lewat."
"Mending lo cepetan ke sana."
"Terus Nisa gimana?"
"Bentar lagi, nih," ujarnya seraya menunjukkan layar ponsel. "Tuh, dah nyampe." Nisa melihat ke arah gerbang sekolah, diikuti Ayli untuk memastikan.
"Kalau gitu sampai ketemu besok!" Ayli berseru singkat sembari melambaikan tangannya dan mulai beranjak. Gadis itu melangkah secepat yang dia bisa untuk menghampiri keenam laki-laki yang sudah menunggunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Our Princess
Teen FictionMerupakan putri tunggal dari sang papa, apalagi papanya itu orang tua tunggal, membuat Ayli harus menerima semua aturan yang dibuat. Sebenarnya bukan hanya status sebagai putri tunggal dari sang papa yang dia sandang, tetapi juga cucu perempuan satu...