Sekolah berakhir dua jam lebih awal, rapat antara guru menjadi penyebabnya. Hal itu disambut oleh seruan suka cita para siswa. Setelah mendengarkan pengumuman dari speaker yang tersebar di beberapa titik, mereka langsung merapikan barang masing-masing dan segera keluar kelas.
Ayli bersama teman-temannya menunggu beberapa saat di dalam kelas. Matahari yang masih tinggi di langit, serta desakan para siswa di koridor membuat mereka malas. Lebih baik keluar lebih lama sedikit daripada berada di antara suhu panas yang ada di udara sekitar.
Sambil menunggu, Ayli menghubungi sang mamy melalui aplikasi pesan obrolan. Menanyakan kapan mamy-nya itu menjemput nanti. Butuh beberapa saat hingga akhirnya dia mendapatkan balasan, yang kemudian langsung dibalas lagi dengan singkat.
"Udah lumayan sepi di luar?" tanya Ayli begitu mengangkat pandangan dari layar ponselnya.
"Udah lumayan, sih. Mau keluar sekarang?" Raia yang menyahut.
"Ya udah sekarang aja."
Kelima gadis itu pun keluar kelas. Memang sudah tidak seramai saat setelah pengumuman terdengar, tetapi begitu keluar dari lobi masih terlihat siswa-siswa yang mengantre untuk keluar melalui gerbang dengan kendaraan mereka masing-masing.
Seperti biasa, mereka berlima mengambil duduk di parkiran guru yang memiliki naungan atap.
"Anak kelas 12 udah gak ada tapi masih rame juga, ya," celetuk Raia setelah pandangannya terarah pada barisan kendaraan di depan mereka.
"Ya kan, emang sisa kita lebih banyak. Dua angkatan. Lebih banyak, lah, daripada kelas 12 doang. Gak terlalu keliatan, tuh, sepinya abis mereka angkat kaki," sahut Yuna tanpa mengalihkan pandangan dari layar ponsel. Sembari itu kedua ibu jarinya sedang bergerak. Ketika selesai barulah dia menatap temannya itu yang paling akrab di kelas. "Lagian nih, ya, sekarang pada gak mau bolos, deh. Dua minggu lagi kita ujian semester, nilai jelek berarti tamat udah."
"Bener juga, lupa gue."
"Oh iya, Ay, kakak-kakak lo pada lanjut ke mana?" Raia beralih pada Ayli yang sedari tadi hanya diam dan menyimak.
"Masih di kampus sini, kok. Gak pada keluar kota," jawab Ayli.
"Mana mereka jauh dari lo, Ay. Hafal banget gue, tuh." Nisa menimpali dengan cepat. "Apalagi Kak Javiar.. beuuh, tahu banget gue kalau kakak lo yang itu sekarang pisah sekolah gini jadinya galau."
"Nisa lebay, ah. Gak gitu banget, kali."
"Si Nisa bener, Ay. Baru setahun tahu kakak lo itu, kita udah hafal dia gimana kalau bersangkutan sama lo. Inget gue hampir semua kelakuan Kak Javiar kalau itu soal lo." Yuna ikut menambahi dengan berapi-api, bahkan posisi duduknya sampai berubah sedikit menjadi lebih sering untuk bisa menatap Ayli. "Kalau kalian inget, yang paling epik waktu kita mau Kemah Keluarga. Anjir.. awalnya marah-marah gegara surat izin lo dapet tanda tangan, terus waktu di tempat kemah sana dapet banyak larangan. Gue bahkan sempat denger Bu Ambar yang ngomongin keprotektifan Kak Javiar sama Bu Naula. Kakak lo itu emang segitunya, Ay."
"Weeh, gue gak ada denger cerita kalian waktu Kemah Keluarga!" protes Raia dengan mimik masam. "Ceritain dong kelakuannya Kak Javiar waktu di sana."
"Guys, guys.. kalian lagi ngomongin Kak Javiar di depan adeknya sendiri, lho." Arista menyela sebelum Yuna sempat membeberkan cerita dari pandangannya.
"E-eh, gak papa, kok. Lanjutin aja," ujar Ayli dengan cepat saat keempat temannya itu menatap ke arahnya.
"Noo, guys! Dipending dulu! Itu kakak gue udah datang!" Nisa berseru kemudian, kembali menyela Yuna yang hendak membuka suara. "Besok aja ceritanya. Gak bakal seru kalau cerita gitu gak ngajak-ngajak gue. Kan, gue juga ikut Kemah Keluarga kemaren."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Our Princess
Teen FictionMerupakan putri tunggal dari sang papa, apalagi papanya itu orang tua tunggal, membuat Ayli harus menerima semua aturan yang dibuat. Sebenarnya bukan hanya status sebagai putri tunggal dari sang papa yang dia sandang, tetapi juga cucu perempuan satu...