Jam kosong di pelajaran terakhir membuat suasana kelas 10 IBB menjadi bising oleh berbagai ucapan yang terlontar, sesekali juga terdengar seruan nyaring. Ada beberapa siswa yang memutuskan untuk duduk di luar kelas, merasa terlalu sesak karena berbagi oksigen dengan yang lainnya. Mengambil duduk lesehan di depan kelas, mereka mengantisipasi agar tidak terlihat dari gedung lain.
Pelajaran seni budaya yang dijadwalkan berlangsung hingga jam pulang, tidak berlangsung semestinya karena guru yang tidak masuk. Waktu yang ada, lagi-lagi, seharusnya bisa digunakan untuk mengerjakan tugas praktik yang diberikan dari pekan lalu. Dari total 21 siswa di kelas itu, mereka dibagi menjadi empat kelompok untuk mempraktikkan dua cabang seni; seni rupa dan seni musik.
Pada saat pemberian tugas pekan lalu, Ayli mengacungkan jarinya untuk menjadi ketua kelompok seni rupa yang pertama. Entah sedang dirasuki apa. Namun, dorongan dalam dirinya itu juga timbul karena tidak ada di antara teman-temannya yang bersedia. Jadi, daripada menunggu lebih lama dia mengajukan diri.
Sebagai kelompok pertama, Bu Narisa menyatakan bahwa anggota kelompoknya akan berjumlah enam orang, sedangkan kelompok lainnya akan beranggotakan lima orang. Yang paling disyukuri oleh mereka semua adalah dibebaskannya memilih anggota kelompok.
Kelompok Ayli terdiri atas dirinya, Arista, Yuna, Raia, Shafea dan Ransya-satu-satunya laki-laki di kelompok itu. Belakangan ini Ransya dan Raia memang sedang dekat, di mana ada Raia maka dapat dipastikan Ransya akan ada di sana. Karena itulah Ayli menerima laki-laki itu di kelompoknya.
"Hari ini jadi, 'kan?" Shafea yang duduk di belakang Ayli melontarkan pertanyaan.
"Jadi, kan udah diomongin dari kemarin," balas Ayli. "Kalian udah pada izin, 'kan?"
"Iyaa, udah."
"Peralatannya udah dibawa juga?"
"Gue ada kuas sama cat," jawab Arista. "Udah ada gue cek di rumah, gak kelupaan."
"Gue juga bawa kuas sama cat." Shafea menimpali.
"Gue sama Yuna bawa diri," ujar Raia dengan penuh percaya diri. Yuna yang duduk di belakangnya pun menimpali dengan semangat, menunjukkan kebenaran kalimat temannya itu.
"Eh, kanvas beneran udah dibeli sama Ransya?" Yuna bertanya sambil melarikan pandangan ke penjuru kelas untuk menemukan sosok Ransya. Ketika menemukan laki-laki itu di antara para temannya, dia berseru memanggil. "Ransya! Sini lo!"
"Apaan?" Ransya bertanya dengan ketus, belum beranjak dari tempatnya.
"Lo bawa kanvasnya? Awas aja kalau kelupaan."
"Aman itu. Ganggu aja lo."
"Woy, gue belum selesai ngomong! Lo udah izin buat kerkom?"
"Udah, udah! Semuanya aman. Sekarang jangan ganggu gue."
"Hiish, nyebelin banget." Yuna bersungut-sungut begitu Ransya tidak lagi menghiraukannya.
"Ransya, sini dulu!" panggil Arista sambil menggerakkan tangannya. Ada yang perlu mereka bahas bersama sebelum nanti berangkat ke rumahnya untuk mengerjakan tugas itu.
Kali ini Ransya langsung beranjak tanpa ada niatan untuk protes. Jika Arista yang sudah berbicara maka tidak ada yang bisa mengelak. Lebih baik segera menurut.
Ayli berdeham sedikit setelah semua anggotanya telah berkumpul-melingkar bersama setelah menarik kursi-untuk membersihkan tenggorokannya sebelum berbicara. "Oke, jadi udah pasti, ya, kita ngerjain tugasnya di rumah Arista. Gak boleh bohong lho, ya, kalau emang belum izin. Nanti masalah bisa nambah."
"Iya, bener. Kalau gue mah sebagai tuan rumah aman-aman aja," tambah Arista seraya mengangguk kecil. "Sekalian makan siang di rumah gue nanti, ya. Pokoknya belum boleh mulai kalau kalian belum makan. Gue udah ngasih tahu Mama bakal kerja kelompok abis pulang sekolah."
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Our Princess
Novela JuvenilMerupakan putri tunggal dari sang papa, apalagi papanya itu orang tua tunggal, membuat Ayli harus menerima semua aturan yang dibuat. Sebenarnya bukan hanya status sebagai putri tunggal dari sang papa yang dia sandang, tetapi juga cucu perempuan satu...