Tangan mungil itu menggenggam erat milik sang papa yang besar. Tali tas ransel kecil telah tersampir di kedua pundaknya, berisi dompet kecil dan ponsel yang disiapkan oleh sang papa.
"Ayli."
Dia menoleh pada sang papa yang entah sejak kapan berlutut di sisinya untuk menyamakan tinggi mereka. Pria itu mengambil kedua tangan gadis itu untuk ditangkup di dalam tangan besarnya.
"Masih ingat cara pake ponselnya?"
Mengangguk kecil, gerakan itu membuat kedua kuncirnya turut bergerak seirama.
"Kalau kamu mau pulang, bisa langsung telpon Papa. Gak boleh nginap, ya."
Gadis itu kembali mengangguk, kemudian perhatiannya teralihkan saat sebuah mobil berhenti di depan rumah. Seorang wanita cantik keluar lalu menghampirinya yang belum beranjak dari tempat.
"Anzhara, Mama kangen!"
Tubuhnya masuk ke dalam dekapan wanita itu.
Lima bulan setelah perceraian kedua orang tuanya, dan ini adalah pertemuan pertama Ayli dengan mamanya lagi. Ayli tidak tahu mengapa sang mama baru menemuinya sekarang, tetapi sepertinya dia harus mulai membiasakan diri, karena dirinya bukan lagi anak satu-satunya sang mama.
"Kamu siap jalan-jalan sama Mama?"
Ayli mengangguk, kemudian menaruh pandangan pada sang papa. Pria itu memberikannya usapan lembut di puncak kepala.
"Sebelum jam empat Ayli sudah harus kembali," ujar Sebastian sambil menatap mantan istrinya.
Tidak membalas, Kara hanya memberikan tatapan tajam pada pria itu. Kemudian dia kembali pada Ayli.
"Kita berangkat sekarang, ya."
"Iya, Mama."
Ayli pamit pada sang papa, juga memberikan kecupan singkat di pipi pria itu sesuai permintaan. Lalu dia mengikuti langkah sang mama untuk masuk ke dalam mobil. Wanita itu memasangkan sabuk pengaman untuknya setelah dia menyamankan diri.
Selama perjalanan tidak ada percakapan yang melayang. Keduanya sama-sama diam sampai tiba di tujuan.
Sebuah gedung besar nan tinggi berdiri kokoh di depannya sekarang. Ayli sudah besar, dan dia tahu bahwa gedung itu adalah rumah sakit.
"Mama sakit?"
Kara tersenyum lalu merendahkan tubuhnya untuk menyamakan tinggi mereka.
"Nggak, Mama gak sakit. Kita bakal temuin seseorang, dan dia lagi sakit. Nanti kamu hibur, ya, biar dia gak sedih."
"Oke, Mama."
Mereka melangkah memasuki rumah sakit itu. Ayli bisa melihat para perawat yang memakai pakaian serba putih, cat dinding yang juga berwarna putih membuat mereka seperti menyatu di mata gadis kecil itu. Dia tertawa kecil setelahnya, merasa geli dengan pemikirannya sendiri.
Ayli tidak begitu memperhatikan ke mana sang mama membawanya, tahu-tahu mereka sudah berada di depan sebuah ruangan. Tangan mamanya terangkat dan mendarat di handle pintu untuk membukanya. Setelahnya Ayli dapat melihat seorang anak laki-laki yang duduk di atas ranjang rumah sakit. Salah satu kakinya terbalut sesuatu berwarna putih yang tidak diketahui Ayli apa namanya, tetapi pernah dia lihat di kartun yang ditontonnya.
"Jav, lihat Mama bawa siapa!"
Anak laki-laki yang tadinya menatap bosan ke luar jendela, kini menaruh pandangannya pada Ayli yang takut-takut bersembunyi di belakang Kara. Sebuah senyuman langsung terbit di wajahnya.
"Dia kayak boneka. Jav mau pegang!"
"Anzhara, ayo ke sana! Namanya Javiar, dia kakak kamu sekarang."
Ayli sebenarnya tidak ingin menghampiri anak laki-laki bernama Javiar itu, tetapi Kara terus mendorongnya mendekat hingga sampai di sisi ranjang. Ayli tidak ingin bertemu dengan anak mamanya yang lain, dia ingin pulang sekarang. Dia tidak suka di sini. Jika tahu begini, dia tidak akan mau diajak pergi oleh sang mama.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Our Princess
Teen FictionMerupakan putri tunggal dari sang papa, apalagi papanya itu orang tua tunggal, membuat Ayli harus menerima semua aturan yang dibuat. Sebenarnya bukan hanya status sebagai putri tunggal dari sang papa yang dia sandang, tetapi juga cucu perempuan satu...