Bunyi gesekan kertaslah yang saat ini memenuhi atmosfer kelas. Sesekali terdengar correction tape yang dikocok sebelum digunakan. Juga ada suara samar dari pertemuan ujung pulpen dengan permukaan kertas. Netra setiap siswa terpaku pada kertas di hadapan mereka masing-masing. Meskipun ada beberapa yang sesekali melirik ke samping, kepada temannya. Berharap mereka peka dan bisa membantu untuk menjawab soal ujian itu, sebuah trik lama.
Ya, tanpa disadari waktu ujian tengah semester telah tiba, dan mereka mengikutinya sekarang. Sudah berlangsung tiga hari sejak hari Senin lalu. Hening menjadi lebih sering menguasai atmosfer sejak hari pertama itu.
"Waktu habis! Silakan kumpul jawaban kalian. Mulai dari ujung sana." Suara Pak Rizal terdengar tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas siang.
"Sebelum pulang pastikan kelas dalam keadaan rapi. Saya pamit duluan." Beliau berimbuh setelah siswa terakhir mengumpulkan lembar jawabannya. Kemudian keluar dari kelas sambil membawa tumpukan lembar jawaban tersebut.
"Aaaaa! Mengsusah banget antropologi-nya tadi!" Ayli berseru pelan seraya membaringkan kepalanya di atas meja. Detik berikutnya dia mengangkat kembali kepalanya lalu meraih tumbler.
"Yang gambar-gambar tadi susah banget astagaa! Mana tahu senjata-senjata gitu," sahut Shafea yang memutuskan untuk duduk di belakang Ayli selama ujian ini berlangsung.
"Bener. Akhirnya ngasal aja." Ayli membalik posisi duduknya, menghadap Shafea. "Ini belajarnya gimana waktu ujian keluarnya gimana."
"Walaupun udah sering gitu tetap aja sakit hati. Berasa sia-sia belajar gue semaleman buat ini." Raia, yang sebelumnya sibuk menyimpan peralatan tulisnya, ikut menimpali dengan dramatis. "Kebiasaan banget, sih, soalnya pada gak ada yang sesuai pembelajaran."
"Udah pasrah sama antropologi ini, sih," ujar Ayli dengan lesu.
"Gaeesss, gue duluan ya! Abang gue udah di depan." Yuna menghampiri sambil menggendong tasnya.
"Byee, Yuna! Ingat sekolah besok!" Raia berseru pada teman seservernya itu. Kemudian dia kembali beralih pada Ayli dan Shafea. "Eh, besok pelajaran apa aja?"
"Ekonomi sama keterampilan."
Keluhan demi keluhan kembali terdengar di kelas itu. Beberapa siswa memilih untuk pulang duluan setelah menyimpan benda milik masing-masing. Sedangkan Ayli keluar kelas bersama Raia, Arista dan Nisa selang beberapa saat karena masih mengobrol sejenak.
Keluar dari lobi sekolah, mereka bertiga menuju ke tempat parkir guru yang memiliki atap guna berteduh dari sengatan sinar matahari. Nisa pamit duluan sebelum mereka sampai di parkiran guru karena sudah bersama temannya.
"Rai, udah telpon?"
"Sudah, sudah. Ini katanya masih mandi, lama banget. Padahal tinggal jemput gitu aja."
"Ris, kamu pulangnya pake apa?"
"Oh, gue kayaknya pake ojol aja. Bokap sama Nyokap pada sibuk."
"Udah pesen?"
"Udah, nih." Arista berujar sembari menunjukkan layar ponselnya. "Terus lo sendiri gimana?"
"Gampang. Tuh, udah siap dua puluh empat jam," jawab Ayli sembari menunjuk ke arah enam laki-laki yang telah bersiap di atas motor masing-masing.
Setelah kedatangan Nila beberapa waktu lalu, dan ancaman yang dikeluarkan Ayli, Pilihan Angin di kelas 10 IIS 4 resmi selesai. Keenam laki-laki itu terlalu takut pada ancaman Ayli. Untungnya setelah Pilihan Angin itu selesai Ayli tidak mempermasalahkannya lebih jauh.
"Terus kenapa masih di sini, Aylii!" Seruan Raia mengudara. Itu mengundang tawa kecil lolos dari bibir Ayli.
"Nanti kalian nunggu sendiri kalau salah satunya udah jemput." Gadis itu bersuara untuk membela diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Our Princess
Teen FictionMerupakan putri tunggal dari sang papa, apalagi papanya itu orang tua tunggal, membuat Ayli harus menerima semua aturan yang dibuat. Sebenarnya bukan hanya status sebagai putri tunggal dari sang papa yang dia sandang, tetapi juga cucu perempuan satu...