Satu jam lebih setelah makan siang, Ayli tertidur lelap di pangkuan papanya. Pipinya bersandar pada dada bidang sang papa yang tidak dia ketahui bahwa yang dilakukannya itu telah menjadi impian dari banyak wanita di kantor. Entah sudah berapa lama dia tertidur dengan nyaman seperti itu.
Sebastian sendiri duduk di sofa agar posisi tidur putrinya lebih nyaman. Menggunakan jasnya, dia menyelimuti tubuh sang putri. Kala tangan kirinya digunakan untuk sesekali mengelus rambut putrinya, yang lainnya dia gunakan untuk mengoperasikan ponselnya.
Lenguhan yang terdengar dari sang putri membuat Sebastian mengalihkan atensinya dari ponsel. Ponsel itu dia letakkan begitu saja di sampingnya. Lalu, dia menyingkirkan rambut yang menghalangi wajah Ayli sedang tangan yang satunya mengusap punggung gadis itu dengan lembut.
"Papa," ucap gadis itu dengan suara serak khas baru bangun tidur.
"Mau apa, Sayang?"
"Eughh ... turunin Ayli."
Menuruti sang putri, Sebastian menurunkan Ayli dari atas pangkuannya. Setelah mendarat di sofa, mata gadis itu akhirnya terbuka sempurna walaupun masih terlihat sayu.
"Jam berapa?" Ayli bertanya pada sang papa.
"Jam tiga lewat."
"Waktunya cemilan!" Dia berseru senang sembari menegakkan posisi tubuhnya. Kantuk benar-benar hilang seketika. Hal itu mengundang tawa kecil untuk lolos dari bibir Sebastian.
"Ganti baju dulu." Sebastian mencubit kecil hidung mungil putrinya. "Ada handuk di sana, kalau kamu mau mandi."
Menuruti sang papa, setelahnya Ayli keluar dari ruangan itu sambil menenteng paper bag berisi pakaiannya yang tadi diantar oleh asisten rumah tangga. Dia menuju toilet yang tadi diberitahukan oleh papanya. Tiba di sana dia langsung mengambil handuk bersih dari lemari kecil yang dijumpainya.
Dua puluh menit kemudian gadis itu sudah tampil lebih segar dengan pakaian yang telah diganti, tidak lagi seragam yang terasa sia-sia dia pakai hari ini karena tidak jadi masuk sekolah. Setelah memasukkan seragamnya ke dalam paper bag, Ayli keluar dari toilet dan kembali ke ruangan papanya.
"Papa, Ayli mau coba cake di kafe depan kantor," ujar gadis itu dengan penuh harap. Dia tahu mengenai kafe yang berdiri di depan kantor itu dari cerita teman-temannya yang pernah mengunjungi cabang lainnya. Saat melewati depan kafe matanya langsung menangkap nama kafe itu dan teringat akan yang dikunjungi oleh teman-temannya. Jadilah dia penasaran dengan testimoni dari para temannya itu, benar atau tidak.
"Pesan di toko roti yang biasa aja, Ay." Sebastian berusaha membuat putrinya berubah pikiran. Dia tidak mau Ayli mengonsumsi makanan yang belum pasti kandungan bahan-bahannya. Selama ini semua bagi Ayli sudah dia atur, dan akan dipastikan terus begitu.
"Tapi Ayli mau coba yang di sana. Temen-temen udah pernah." Gadis itu masih berusaha mempertahankan keinginannya. Mumpung kafe itu berada dalam jangkauannya. Tidak tahu kapan kesempatan seperti ini datang lagi padanya. "Boleh ya, Papa?"
"Kapan-kapan aja ya, coba cake di sana. Itu belum pernah Papa coba juga. Untuk sekarang pesan di toko roti yang biasa aja."
"Nanti lama kalau pesan di tempat biasa. Itu kafenya cuma di depan." Ayli memasang puppy eyes untuk meluluhkan papanya. Setidaknya dia harus mencoba sekali kue di kafe itu.
"Ayli ...."
"Kalau gitu Ayli minta sama Om Gama aja!" serunya dengan kesal lalu berlari keluar ruangan Sebastian. Dia menuju ujung lainnya yang berlawanan dengan arah toilet. Untung saja tadi Gama memberitahu ruangannya, jadi Ayli tidak perlu berlari tanpa tujuan untuk mencari ruangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] Our Princess
Teen FictionMerupakan putri tunggal dari sang papa, apalagi papanya itu orang tua tunggal, membuat Ayli harus menerima semua aturan yang dibuat. Sebenarnya bukan hanya status sebagai putri tunggal dari sang papa yang dia sandang, tetapi juga cucu perempuan satu...