🍁 47 | Pulang

51 1 0
                                    

"Anjing."

"Heh, nggak boleh ngomong kasar di tempat orang, setan."

"Lo juga sama, Ga."

Revan tidak peduli dengan peringatan Rangga yang tengah saling melemparkan tatapan tajam dengan Akarsana dibantu dengan sinar dari lampu senter mereka masing-masing. Sebelah tangannya menutup sepasang matanya yang terasa mengabur subuh itu dengan sebelahnya berkacak pinggang lesu.

Brastagi masih gelap meskipun sudah bukan tergolong malam.

Marcus berdecak kesal, "Lo tahu, kan, apa yang harus dilakuin?" Sorot matanya tajam memukul telak mental permen sang ketua.

"Gue tahu. Toilet di seberang jalan nggak ada orang otomatis Vanilla nggak ada di sana. Satu-satunya tempat kamar mandi hanyalah di dalam sana," kata Revan yang melihat sekilas dua sahabat Vanilla yang sudah meringkuk duduk di atas kayu panjang. Cassandra tengah memeluk dan menenangkan adik kembarnya sudah menangis kencang dari tadi.

"Revan! Vanilla hilang!"

"Revan! Vanilla sama lo, kan? Dia nggak ada di tenda."

Dan, serangkaian kalimat lainnya diserang kepadanya yang membisu dari tendanya sendiri bersama Rangga. Kembar Andra sudah terkejut melihat Revan yang terlihat baru bangun saat mengetuk tenda tersebut.

Jadilah, setelah semeniit Revan bertanya, seluruh pengurus inti OSIS dan seksi jasmani dibangunkan mendadak, bersama dengan Miss Mina yang masih diam melihat kelakuan anak-anaknya. Sedangkan, tiga siswa Dreamers lainnya terbangun karena kegaduhan tepat di depan tenda mereka.

"Kita pencar. Cassandra pergi dengan Rangga ke arah sana. Marcus, tolong bawa Alessandra ke arah sana dengan Akarsana. Sedangkan, Varo dan Jihan tolong masuk ke dalam bersama Chris. Jason sama gue bakalan masuk ke arah yang di sana."

"Sisanya, tolong jaga di sini. Miss Mina juga akan tetap di sini, kondisinya belum begitu sehat setelah keseleo di dalam hutan kemarin. Siapapun di antara kalian yang melihat Vanilla kembali dengan salah satu dari kami, tolong bunyikan peluit ... tanda bahwa Vanilla sudah kembali dan kami juga akan kembali ke sini."

Marcus mengangguk mengerti, di saat seperti ini Revan tidak bisa diajak ngelawak seperti biasanya. Dia mungkin tidak becus dalam hal administrasi OSIS dan lembar kertas tersebut, untuk itulah Revan menunjuknya sebagai sekretaris.

Satu hal yang pasti, Revan bisa diandalkan dalam memimpin rapat dan keadaan genting, darurat, serta mendadak seperti ini.

"Jaga keselamatan satu dengan yang lain. Kalau bertemu dengan Vanilla dan butuh bantuan, cari anggota yang lain. Okay?" sambung Revan lagi yang kemudian angguki oleh para siswa yang ada. Masing-masing dari mereka telah mengambil langkah awal untuk masuk ke dalam.

Seperti Alessandra yang masih dengan pakaian tidur dan sandal mengambil lengan Marcus untuk diajak masuk ke hutan alam dan mendorong Akarsana. Cassandra yang sama khawatirnya melangkah kemudian dengan Rangga yang melek untuk menjaga gadis di sampingnya.

"Yuk. Gue sudah bawa baterai cadangan dengan ponsel kalau ada yang masalah nantinya," kata Jason yang menyambangi Revan, ketua OSIS dan Ketua seksi jasmani sekaligus ketua panitia tersebut menjadi tim yang terakhir mencari Vanilla.

Vanie, di manapun lo sekarang, gue mohon tetaplah jaga keselamatan lo.

Butuh satu jam selama perjalanan mereka sampai ke titik ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Butuh satu jam selama perjalanan mereka sampai ke titik ini. Dia sempat berpaspasan dengan Alessandra yang terlihat frustasi karena tidak mendapati satu jejakpun atas temannya itu. Gadis itu kacau dengan rambut tergerai yang basah oleh keringat dan matanya yang sembab.
Revan pun sama kacaunya.

Bagaimana dia bisa mempertanggungjawabkan dirinya di depan Om Brian?

"Gue bakalan lihat-lihat di dekat sungai, Jay. Lo bisa cari Vanie di dekat sana," kata Revan setelah sampai ke dekat aliran sungai bersama wakil ketua panitianya yang berusaha turun dengan selamat dari terjalnya permukaan tanah basah akan air hujan.

Agak menghambat perjalanan mereka mencari Vanilla.

"Oke, Van. Lo jaga diri, jangan sampai lo pula yang hanyut dibawa arus. Gue nggak pinter berenang," balas Jason yang mulai berpencar diri dengan rekan OSISnya. Lalu, sesekali berteriak nama Vanilla.

Pemuda tersebut berjalan di tepi sungai kecil yang menjadi aliran pusat satu-satunya di antara gang air di samping. "Vanilla! Vanilla! Kalau lo denger suara gue, lakuin sesuatu!" teriak Revan yang melihat sekitarnya.

Sungai ini dari awalnya pernah mereka ingin jadikan sarana permainan. Namun, karena fokus mereka adalah keselamatan. Maka, mereka membatalkan keinginan mereka.

"Ssshhh ...."

Pemuda jangkung lengkap dengan pakaian tidurnya serba panjang terdiam sejenak, takut-takut bersuara, "Vanilla!"

"Evan ... ssshhh."

Desisan itu kembali terdengar dan dengan percaya diri, laki-laki itu kembali naik dari pinggiran sungai, napasnya tercekat ketika melihat gadis yang dijaganya terjerumus di dalam lubang.

"Vanilla! Kaki lo terluka?" tanya Revan yang berjongkok di depan lubang tersebut.

Vanilla mengangguk kepalanya, mendongak tepat ke arahnya dengan mata yang sembab, aliran sungai di pipinya masih terlihat basah. Oh, berapa lamakah dia menangis sembari menunggu kedatangan salah satu dari mereka?

"Vanilla!" Pekik Jason yang datang dari belakang, matanya bertabrakan dengan Revan langsung menganggukan kepalanya setelah membaca pikiran pemuda tersebut.

Revan memposisikan dirinya di depan Vanilla, "Angkat tangan lo. Gue bakalan tarik lo naik ke sini."

Ponsel yang tidak berbentuk dengan lumpur tanah di tangan Vanilla disimpan oleh Ketua OSIS tersebut. Kedua tangan itu saling terpaut, Jason memposisikan dirinya di belakang, berusaha menjaga keselamatan mereka dan gadis itu terkulai lemas di atas tubuh Revan yang terjengkal ke belakang karena berat badan anak bungsu Brian itu.

Jason tersenyum tipis, lega karena Vanilla tidak mengalami banyak luka serta dapat melihat lengan Vanilla dengan nyaman bertengger di sekitar leher Revan, menangis di dekapan pemuda itu. "Gue cari yang lain dulu, kabarin tentang Vanilla. Lo kalau sudah selesai dengan urusan di sini langsung balik," katanya yang merasa perlu memberikan waktu untuk mereka berdua.

Langit masih gelap, tidak segelap jam empat subuh mereka dibangunkan tadi. Namun, masih bisa terhitung menghitam dan menyulitkan penglihatan insan di bawa kolong langit.

Revan berusaha memposisikan dirinya untuk duduk, sebelah tangannya berusaha menenangkan emosional si gadis dengan berada di punggung kotor Vanilla. Setelah berhasil duduk, dia memeluk gadis tersebut yang berada di pangkuannya dengan posisi menyamping.

"Tenanglah, lo aman di sini sama gue. Jangan nangis lagi," ucap Revan dengan lembut. Dagunya diletakkan di samping kepala Vanilla yang masih terendam di bahu pemuda tersebut. "Lo ketakutan selama lo di dalam sana, kan? Maaf, gue terlambat datang jemput lo."

Vanilla semakin menangis kencang. Revan dengan sabarnya mengucapkan puluhan perkataan dengan tangan yang tidak lepas dari punggung si gadis, tepukan pelan seakan mampu memberikan kehangatan. Ketika Vanilla hanya sesegukan, pemuda itu membawa wajah si gadis yang penuh kotor lumpur, mengusap pipinya perlahan.

"Nggak apa-apa. Semuanya telah selesai. Lo bakalan tetap aman sama gue. Mana yang sakit? Kakinya keseleo nggak?" tanya putra tunggal Ian yang dibalas dengan anggukan Vanilla tanpa suara. Tangannya menunjuk seluruh luka yang ada di sekujur tubuhnya.

Memang agak bersalah di situasi ini, Revan masih menganggap Vanilla itu cantik dan lucu.

"Kita balik, ya. Gue bakalan minta ke Kak Paula untuk ngobatin lo. Dia aktif jadi PMR di kecamatannya," seru laki-laki tersebut dengan lembut, melihat Vanilla yang masih terdiam. Pemuda itu tersenyum maklum.

Gadis itu harus turun dari posisinya, membiarkan sepasang kaki Revan yang telah ikut kotor karena lembabnya tanah sehabis hujan beristirahat sejenak. Dia hanya diam ketika tangan kanan Revan di belakang punggungnya sedangkan satunya menyelip di lipatan lutut, mengangkatnya naik, membuat Vanilla menyamankan posisinya serta tangan yang mengalung rapi di leher Ketua.

Sebelum jalan, pemuda itu sempat melihat lurus ke manik sang gadis dalam gendongannya perlahan menghangat seperti biasanya. Dia memberikan senyum yang terbaik yang dimilikinya dan berbicara lembut sebelum dia kembali ke base dengan jalan yang lebih aman untuk Vanilla lewati.

"Kita pulang, Vanie."

To Be Continue

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To Be Continue

Hello, sudah berapa lama Christine nggak update di sini?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hello, sudah berapa lama Christine nggak update di sini?

Masih hitungan kan, ya? Belum minggu apalagi bulanan?

Moga-moga sih.

Tenang ini bukan april mop, ini serius, memang sudah ketemu Vanillanya.

Anyway, Christine berencana move cerita ini ke lapak yang lain, mungkin joylada atau lainnya. Tapi, setelah yang di sini selesai, sih.

Menurut kalian gimana?

See ya ^^

Nginep • Jaemin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang