🍁 59 | Buat Cemas Saja

43 2 0
                                    

Anjir, ini ... perpus dah tutup gitu? Trus, gue kejebak di dalam?


Eh, bentar, sudah jam berapa memangnya? Batinnya lagi yang segera mengambil ponselnya dan terbelalak, sudah selarut ini ternyata. Pantas saja perpustakaan sudah ditutup. Kalau sudah begini, Vanilla mengabari Revan kalau dia ada perpustakaan.

"Anjir! Nggak ada sinyal! Trus, gue pulangnya gimana?"

Di waktu yang berbeda, sudah jam enam sore dan Revan baru saja pulang dari sekolahnya. Lebih tepatnya, rapat OSIS yang seakan suka menempel dengannya itu sudah selesai di jam tiga sore. Sisanya, dia makan siang dan keliling Medan untuk mencari keinginan Vanilla.

"Nah, sudah semua! Okay, kita jalan," kata Revan yang dengan semangat menjalankan mobilnya ke rumah gadis tersebut.

Orang bodohpun tahu kalau permintaan Vanilla patut untuk dihujat sampai esok pagi, Revan bukan tidak menyadari hal tersebut. Ketika Vanilla membombardir room private chat mereka berdua penuh di mana gadis itu memiliki segudang keinginan yang harus dipenuhi.

Revan mengiyakan seluruh perkataan Vanilla tanpa kata-kata kejam, satupun dari kata itu tidak ada yang menunjukkan bahwa Revan kesal.

Menurutnya, gadis itu hanya menginginkan beberapa hal yang masih di dalam nalar, seperti bubble tea dan pizza yang berbeda lokasi. Nasi goreng dan popcorn yang berada di satu mall dengan lantai yang berbeda.

Kalau kata Akarsana saat mendengar cerita Revan, "Dia itu bulol yang tidak peka dengan diri sendiri."


"Palingan kalau Vanilla putar badan dan sama orang lain, dia yang galau."

Tiga puluh menit lamanya dia berada di perjalanan kembali ke rumah keluarga Huang dengan bawaannya yang banyak. Sebelum mengeluarkan hasil nyata permintaan Vanilla, pemuda itu dengan tangan kosong mengetuk rumah tersebut.

Areliano membuka pintu kediaman itu dengan pakaian rumahan sederhana, sebuah kaus oblong hitam dengan boxer coklat loreng, "Lo rupanya, mana cantiknya gue?"

Revan mengerutkan dahinya, "Kan sudah pulang?"

"Hah? Kapan? Gue cek di kamarnya sepi tuh." Anak kedua Brian itu langsung menyahut dengan tatapan julid andalannya. "Heh! Lo mau kemana, woi?" tanyanya lagi yang serasa heboh sendiri karena Revan langsung putar badan dan berlari masuk ke dalam mobilnya. Seakan tuli, dia tidak menyahut teriakan Areliano melainkan langsung menancap gas.

"Ckck. Dasar anak muda." Areliano, yang masih berada di usia awal dua puluhan tahunnya.

"Ck," decak Revan yang mendengar suara operator alih-alih suara gadis yang sukses membuat dunianya gonjang-ganjing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ck," decak Revan yang mendengar suara operator alih-alih suara gadis yang sukses membuat dunianya gonjang-ganjing.

Vanilla menghilang ... lagi.

Jelas saja. Apalagi kalau bukan hilang ketika Areliano yang tampak kebingungan karena balasannya dan ponsel gadis tersebut tidak aktif. Dan, kali ini tidak tahu kemana. Alih-alih berpikir kenapa gadis itu selalu bisa menghilang saat dia tidak awas, dia diliputi rasa cemas yang tidak lagi bisa dihitung.

Sepertinya, dia bisa memasang pelacak di ponsel gadis tersebut. Supaya kejadian seperti ini bisa diatasi.

"Angkat, please ...," desisnya yang telah memutari Lapangan Merdeka sebanyak tiga kali. Harap-harap dia bisa melihat jejak gadis tersebut di sini. Siapa yang tahu mungkin Vanilla mampir ke sini sendirian.

"Vanie? Gue nggak barengan sama dia, sih. Kan pulseknya tadi dia mampir ke perpus sendirian. Cassie juga sama gue daritadi. Emangnya kenapa? Harusnya kalau dia belum kabarin, ada kemungkinan dia ke Lapangan Merdeka. Gabut anaknya."

Karena, Alessandra menjawab seperti itu dan Revan rasa memang masuk akal. Satpam sekolah telah mengunci area sekolah sehingga tidak mungkin lagi Vanilla bisa berkeliaran di sana dan gadis itu juga bukan tidak tahu peraturan sekolah. Tapi, dia menyerah dan akhirnya meninggalkan ikon Medan tanpa mendapatkan apapun selain tangki mobilnya yang berkurang karena dibakar untuk bisa bergerak.

Dia menekan tombol hitam ketika Marcus menelepon. "Yo, kenapa, Bang? Lo sama Vanie?" tanya Revan yang langsung menyerbu yang lebih tua.

Sungguh, semoga saja yang dikatakan Marcus itu bukan sebuah candaan sekarang atau dia akan langsung mampir ke rumah pemuda itu setelah menemukan Vanilla.

"Lo belum ngasih ke gue hasil rapat kali ini. Gue mau ngerangkum ini," kata Marcus yang terdengar di seberang. "Dan lagi, anak gadis itu bukannya sama lo? Gue minta istirahat bentar sama tutor gue, ntar kirim ke gue, gue baca dulu sekarang. Baru, ntar selesai gue bimbel, gue lihat lagi," sambungnya lagi.

Revan membalas, "Hasilnya tadi sama Leafa tadi, minta sama dia. Mana sama gue, Bang. Kan gue rapat tadi, Vanie nggak mau ikutan, katanya dia mau pulang lebih cepat."

"Ya sudah, gue ntar minta sama Lea." Sekretaris OSIS itu hanya berucap singkat sebelum kembali melanjutkan setelah menegak air minumnya. "Kan gue cabut dari sekolah jam-jam dua sore kayaknya. Dia masih ada di sana, sih. Lo coba, gih, samperin di sekolah. Katanya dia bentar lagi mau pulang."

"Tapi, dianya nggak pulang ke rumah, tuh. Gue muterin Merdeka Walk tiga kali nggak ketemu," balasnya lagi.

Marcus berdecak sebelum mengomel panjang lebar, "Ya, makanya itu. Mungkin dia masih di sana. Lo coba aja ke perpus dulu, baru samperin ke kelasnya kalau memang dia nggak ada di perpus. Lagian, kunci ruangan sama lo semua. Pak satpamnya juga nggak bakalan marahin lo."

"Bikin cemas saja," bisik Revan ketika merasa Marcus selesai bicaranya. Tanpa disadari pemuda itu, sekretaris OSIS itu tersenyum tipis. Karena, kapan lagi bisa mendengar secara langsung Revan khawatir dengan seorang gadis?

Dia berani bersumpah selama sembilan belas tahunnya dia hidup dan mengenal Revan Dimas Ivander, dia tidak pernah sekalipun mendengar apalagi melihat temannya itu cemas karena seorang gadis.

Lo beneran jatuh sama dia, Van, batin Marcus, dia ikut senang mendengar berita ini.

"Ya sudah, lo cari saja dia di sekolah. Gue tutup dulu, mau hubungin Lea minta hasil rapatnya. Lo hati-hati bawa mobil, jangan ngebut. Ketos nggak becus kayak lo begini masih disayang sama Om Tante."

Revan tidak bisa ketawa. Tentu, dia hanya berdeham dan segera memutuskan komunikasi tersebut dan langsung mengebut ke arah jalan sekolahnya. Dalam hati, berdoa semoga Vanilla tidak mengalami kejadian buruk apapun.

 Dalam hati, berdoa semoga Vanilla tidak mengalami kejadian buruk apapun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To Be Continue

Iya, aku suka double update kalau sekali update

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Iya, aku suka double update kalau sekali update. Biar nggak ribet, kayaknya aku memang nggak bisa update berkala gitu deh.

Kudu bikin habit nih, biar nggak bikin kalian nungguin sampai berdebu.

Hehe

See ya ^^

Nginep • Jaemin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang