"Jangan pernah dekat-dekat dengan oknum Revan Dimas Ivander apalagi serumah. Ya, pokoknya jangan aja lah, batu banget dibilangin."
- Vanilla
Local, AU!
♧ ♧ ♧ ♧ ♧
Highest Rank:
#13 on imagination [15/12/2020]
#25 on imagination [24/10/2020]
#28 on i...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Bruk!
"Sakit, brengsek."
"Oh, berani lo ngomong kek gitu."
Vanilla meringis menahan sakit punggungnya saat dibanting ke tembok. Matanya memejam erat untuk beberapa hal, salah satunya bagaimana cara dia lolos dari sini tanpa melukai siapapun dan juga dirinya.
"Akh! Sakit, bodat. Lepasin!" Pekik Vanilla yang menahan rambutnya dijambak oleh sosok tersebut.
Well, sepertinya memang tidak ada cara halus untuk keluar.
"Siapa yang nyuruh lo untuk deketin Revan?"
Vanilla mencubit kulit tangan yang dengan beraninya menjambak rambut tanpa aba-aba menggunakan ujung kukunya. Setidaknya berhasil dalam kurang dari 3 detik, tidak sia-sia merawat kukunya yang cukup panjang namun tidak sepanjang itu untuk dihukum oleh Marcus.
"Oh, jadi lo yang kirim surat aneh itu? Nggak zamannya lagi kek gitu, tahu, nggak sih," ujarnya yang merapikan kemejanya yang kotor karena dibawa ke dalam gudang penyimpanan. Matanya melihat ke depan tidak takut, ada tiga perempuan yang siap menerkamnya.
"Langsung seperti ini, lo takut Revan jatuh cinta sama gue karena sering jalan kemana-mana bareng dia? Lo takut tersaingi? Makanya tunjukkin diri lo di depan dia. Hak orang berteman sama siapa saja, brengsek," sambungnya yang mengikat rambutnya supaya tidak gerah menghadapi ketiga perempuan ini.
"Lo tuh hama," kata salah satu dari mereka yang Vanilla ketahui pelaku orang yang menyeretnya ke sini. Berkeperawakan tinggi sepertinya, kurus, dengan rambut panjang yang tergurai.
Vanilla mendengus remeh sekali, sepertinya memang tidak ada yang tahu sikap rahasianya selama ini, "Lo tuh yang hama. Hama tuh mengusik dan lo ngusik hidup gue. Aneh sama tukang bully zaman sekarang, ngotak dikit, dong. Lo jangan kira gue dibawa ke sini bukan berarti gue lemah, setan."
Orang itu mengangkat tangannya kearah Vanilla yang tidak terlihat takut sama sekali.
"Lo udah lukain gue sekali di punggung, kalau lo cakarin tangan gue, gue bisa saja lapor ke OSIS tentang tabiat lo. Trus, lo mau tahu akhirnya gimana? Revan bakalan jijik sama lo. Guess what? He doesn't even want to make friends with you, either."
Vanilla tertawa puas dalam hati, "Jaga sikap lo kalau masih mau temanan sama Revan. Gue duluan, nggak perlu repot-repot ngunci gue dalam sini." Lalu, gadis itu melenggang keluar dari gudang penyimpanan dan kembali ke kelas untuk mengambil tasnya. Dia berusaha untuk jalan seperti biasa untuk tidak menaruh curiga terhadap orang-orang.
Kaki gue kepelintir, bangsat, batin Vanilla yang sampai ke dalam kelas. Beruntung tidak ada siapapun, karena Olivia's Twins sudah pamit pulang duluan karena ayah mereka akan segera mendarat di Medan.
Namun, tanpa dia ketahui, seseorang yang tidak sengaja melewati koridor kelas Vanilla melihatnya dengan jelas. Matanya menukik saat melihat cara jalan gadis itu, setelah merekam gesturnya dengan sempurna. Orang itu langsung cabut.
Wah, kudu lapor Revan ini.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.