"Jangan pernah dekat-dekat dengan oknum Revan Dimas Ivander apalagi serumah. Ya, pokoknya jangan aja lah, batu banget dibilangin."
- Vanilla
Local, AU!
♧ ♧ ♧ ♧ ♧
Highest Rank:
#13 on imagination [15/12/2020]
#25 on imagination [24/10/2020]
#28 on i...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Empat, lima, enam sama gue tujuh. Pas! Lo bisa jelasin tentang Vanilla sekarang," kata Marcus setelah duduk di posisinya, dia menjadi orang terakhir yang keluar dari dapur. Setelah menjadi mediasi antara Akarsana dengan Hyung Woo yang nyaris baku hantam karena sumbu pendek Akarsana.
Revan mengais oksigen sebentar, lalu berucap, "Gini. Lo pada bisa jadi temannya Vanilla nggak?"
"Lo kira kita musuhan gitu sama dia?" salip Akarsana yang ikut duduk lesehan dengan sepasang kembar sambil menikmati sisa martabak telur dengan sengit.
"Ck. Bukan gitu, teman yang lebih dekat. Agak friendly. Soalnya, Kak Lian secara khusus minta gue untuk jagain adeknya biar nggak lecet," kata Revan sambil memangku dessert box yang masih utuh.
Akarsana mengerut dahinya sembari melihat Hyung Woo dengan tatapan penuh kecurigaan, menimbulkan rasa penasaran dari Ketua OSIS tahun ini.
"Lo kenapa, San? Tatap Hyung Woo kek gitu," tegur Rangga yang ikut bersuara setelah berhasil memenangkan war dari online game-nya.
"Bukan. Lo tahu pas gue balik ke sekolah karena map Sejarah gue ketinggalan?" tanya Akarsana yang menyimpan makanannya di atas meja. Revan mengangguk bersamaan dengan Rangga. Sejatinya, mereka berangkat ke apartemen Revan dengan waktu yang sama. Tetapi, di tengah jalan Bendahara OSIS itu mengirim pesan kalau dia harus kembali untuk mengambil buku yang tertinggal dengan Hyung Woo.
Karena, pemuda berdarah Korea itu semobil dengan sang Bendahara. Sedangkan, Rangga dan Revan memakai kendaraan mereka sendiri-sendiri.
"Gue lihat Vanie, tuh anak jalannya pincang anjir. Lo nggak bakalan dicariin sama abangnya, kan?"
Revan membulatkan matanya, dengan wajahnya yang semakin pias saat mendengar dering ponsel.
Itu ponselnya.
"Panjang umur Abangnya. Diangkat, gih," jawab Rangga dengan santai, mengambil alih dessert box Revan dan menyuapi dirinya sendiri. Seolah apa yang akan terjadi bukanlah hal besar.
"Gue nggak tahu penyebabnya, Van. Hyun Woo juga nggak tahu tentang ini, karena Bukor satu itu mau di dalam mobil. Cuma itu yang gue tahu," ujar Akarsana yang dibalas dengan senyum tipis dari Revan. Ketua OSIS itu menggeserkan tombol bulat hijau dari layar dan terdengar suara sapaan berat dari sana.
"Halo, Van."
"Iya, Kak," kata Revan yang mulai berpikir tidak-tidak. Namun, pertanyaan setelahnya membuat Revan terkejut.
"Lo tahu Adek gue kakinya kepelintir?"
"Tahu. Udah baikan nggak dianya?" tanya Revan lagi.
"Heum. Mendingan daripada saat dia pulang, sih. Besok lo tolong jagain dia. Gue ragu kalau dia kepelintir karena jatuh dari tangga."
Revan mengangguk, "Maaf, Kak. Nanti bakalan aku temenin."
"Ya udah. Gue tutup, deh."
"Okay, Bang."
Pemilik apartemen itu langsung meletakkan ponsel di atas meja dan bergantian menatap enam pemuda yang melihatnya bagaikan melihat hantu bolong di tengah malam, dia langsung mengerut kebingungan, “Kalian pada kenapa?”
Rangga langsung menggeleng pelan, menandakan kalau dia ada orang pertama yang sadar, “Ternyata lo dekat juga dengan Abangnya.”
“Iya juga. Nggak canggung lo berdua teleponnya. Walaupun singkat, sih,” sambung Farrel seraya mengunyah es batu yang tersisa di gelasnya.
“Abangnya yang satu ini emang orangnya easy going. Mungkin karena perbedaan umurnya nggak banyak juga, makanya enak ngobrol bareng Kak Lian. Kalau Abang tertuanya agak susah. Lo tahu vibe-vibe anak sulung pada umumnya. Aura bijak dan kalemnya itu mengguar kemana-mana, segan gue ajak dia ngobrol,” tutur Revan seraya menerawang ke tiga hari dia diungsi ke sana.
Kemudian, dia kembali berucap, “Tapi, lo pada jangan salah sangka. Kedua abangnya itu berebutan beri kasih sayang ke Vanilla. Cuma beda cara doang.”
“Jadi, sekarang lo mau gimana?” tanya Marcus sembari membuka bungkusan nasi goreng dan ditumpukkan ke atas piring bersih untuk Hyung Woo yang duduk di sampingnya. Lalu, membuka satunya lagi untuk dirinya sendiri.
Tentu saja menggunakan sendok yang dibawa dari dapur.
“Gue mau minta kalian bantuin gue jaga Vanilla. Nggak perlu terus-terusan, gue yakin kalau dua sahabatnya itu juga bakalan berada dengan dia. Cuma, kalau dia lagi sendiri, lo pada bisa, kan, temani dia? Ntah dari jauh atau dekat dia.”
Alvaro tertegun, “Emangnya Abang mau kemana?”
“Gue keknya bakalan mendekam di ruang OSIS bentar lagi. Gue mau bahas tentang festival dengan tim panitia. Bang Marc juga bakalan sibuk, Rangga dan Akarsana juga, karena tim inti juga.”
Akarsana mengangguk menyetujui, “Gue masih bisa. Gue sekelas sama dia kalau lupa. Dan, gue itu termasuk orang kepagian datang ke sekolah. Kalau yang dibilang oleh Abangnya Vanie itu benar tentang kakinya Vanie, kemungkinan pelakunya bakalan datang ke kelas.” Pemuda yang masih memakai seragamnya itu kembali menimpal setelah membungkus ulang bungkusan nasi goreng yang kosong, “Anak itu nggak kemana-mana kalau seorang diri. Lagipula, dia barusan terkilir di sekolah. Berarti kemungkinan pelakunya adalah siswa.”
“Okay. Lo emang bisa diandelin,” kata Revan yang dibalas dengan senyuman dari kaki tangannya itu. Kalimat yang bisa berarti dengan ‘Terima kasih telah bantuin gue’ dari sosok anak tunggal keluarga Ivander.
“Gue bareng Jihan keliling sekolah, deh. Tapi, minta temanan juga boleh. Abang pada sibuk juga saat istirahat, kan?”
“Aku ikutan, deh.”
Revan terkekeh pelan saat mendengar penuturan Hyung Woo yang daritadi hanya menyimak. Lalu, tertawa bareng dengan anggota Dreamies lainnya. Pemuda itu mengangguk dan membuka tutup bibirnya membuat kalimat ‘Thank You’.
“Gantinya, kita pada nginap sini, ya, Bang. Udah malem, minta izin ke Bunda juga diizinin,” kata Alvaro yang langsung mengirim pesan kepada orangtuanya setelah Revan menyetujui. Lagipula, sudah lama mereka tidak menginap bersama seperti ini.
Biarkan enam pemuda itu mengacak-acak apartemen Revan untuk satu malam. Karena, kalau bukan mereka yang mengacak-acak, memangnya siapa lagi yang bisa datang ke apartemennya seperti mereka?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
To Be Continue
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hehe ^^
Aku balik lagi, kapan-kapan kalau aku sempet, aku update lagi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.