🍁 10 | Dreamers Squad

2.3K 183 2
                                    

Karna, aku lagi baik. Padahal bukan jadwalnya update, tapi ya sudahlah...

Mana tega ninggalin kalian gitu aja.

Ngomong apa hayooo sama aku?

"Bang, minta salinan proposal tahun lalu, dong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bang, minta salinan proposal tahun lalu, dong. Abang pasti tahu letaknya di mana, kan? Kan, tahun lalu Abang juga sekretaris OSIS sekaligus panitianya," kata Revan yang baru saja meletakkan tas sekolahnya di sofa dan langsung mengintilin Marcus ke manapun tertua itu melangkah. Tetapi, sudah lima belas menit dia menemani dan tidak ada tanda-tanda kemajuan kalau Sekretaris itu akan menjalankan permintaannya.

"Bang, serius, elah. Gue nggak ada ide apapun untuk festival akhir semester," kata Revan yang menumpu kepalanya pada meja kerja Marcus.

Marcus berdecih, "Sumpah, Van. Gue pengen muntah lihat lo kek anjing lepas tahu, nggak?"

"Kok anjing lepas? Ini, tuh, mata yang minta dipungut, Bang. Kalau anjing lepas, mah, Akarsana."

"Apa manggil gue?"

Revan langsung mematung, tidak berani membalik badan ke belakang dan bertanya melalui tatapan dengan Marcus. Lalu, memejamkan matanya meringis, teman baiknya itu datang di waktu tidak tepat.

"Gue denger, ya, bangsat. Gue kebiri juga lo lama-lama," kata Akarsana yang kemudian mengeluarkan ponsel dan duduk lesehan dengan punggung yang menyandar pada sofa, mengambil kertas dan pulpen yang tergeletak di sana. Kemudian, pemuda itu mulai menyusun estimasi finansial yang akan dikeluarkan untuk festival.

Ketua OSIS itu menghembuskan napasnya lega, dan kembali melancarkan aksinya, "Ya, Bang. Proposal tahun lalunya, mana? Ntar sama Miss, gue bisa ditebas kalau belum ada ide sama sekali."

"Nih, nih. Ambil, gih. Awas aja, kalau festival tahun ini lebih buruk dari tahun lalu. Nggak gue bantuin lo ngomong di depan Miss," kata Marcus sembari memberikan sebuah dokumen dari laci mejanya kepada Revan yang berbinar. Dan, benar saja, dia langsung kembali ke mejanya untuk mempelajari proposal tahun lalu.

SMA Harapan Kalandra memang selalu mengadakan festival akhir penutupan tahun ajaran. Yang berpikir dan mengerjakan sukarela sampai pusing maupun demam dan muntah adalah anggota OSIS dan siswa lainnya yang menjadi panitia. Dan festival penutupan tahun ajaran Harapan Kalandra selalu sukses besar, tidak ada cacat setiap tahunnya.

Itu yang membuat Revan malas menjadi Ketua OSIS, selain mendapatkan pangkat yang dikira sempurna oleh masyarakat sekolah, dia juga mendapatkan tekanan yang besar. Miss Mina adalah Miss yang sedaritadi mereka sebutkan dalam pembicaraan adalah pembina OSIS tahun ini. Sebenarnya sudah menjabat selama lima tahun. Ya, mau bagaimana, di antara seluruh guru, hanya dia yang mempunyai kompetensi lebih untuk mengarahkan OSIS ke yang lebih baik.

Dari yang Revan ketahui dan alami lebih dari enam bulan ini, Miss Mina adalah pembina dengan kesempurnaannya yang luar binasa. Revan dan anggota lainnya cukup sulit memuaskan standar guru wanita itu. Tetapi, beruntunglah ada Marcus yang merupakan anggota OSIS sejak dia kelas 1 SMA. Jadi, dia tahu banyak tentang kemauan Miss Mina.

"Hello, everybody!"

Suara teriakan membuat ketiga penghuni ruangan melonjak kaget. Akarsana sampai mencoret satu garis ke atas membuat kertas tersebut tidak sempurna.

"Rangga bego! Sini lo, bangsat. Kerjaan gue jadi rusak sepenuhnya. Gue gantung lo di atas tiang bendera." Akarsana langsung berdiri dan sudah berancang-ancang untuk menyeret pemuda yang tidak tahu sopan santun itu ke lapangan pagi buta.

"Eh, eh? Apaan, sih? Lepasin, woi! Gue sapa baik-baik juga," kata Rangga yang memberontak.

"Mata kau, baik-baik. Nggak kau tengok itu, hah? Bang Marc sampai terjengkang ke belakang. Kau kira itu salam baik-baik?"

Tanpa sadar, Akarsana mengeluarkan logat khas Medan. Rangga meneguk ludah takut-takut, temannya satu ini kalau mengeluarkan logat Medan, nyawanya beneran terancam. Pasalnya, pemuda penyandang nama belakang Pratama itu paling jarang berbicara dalam logat daerah tersebut.

"Maaf, Nyai. Sumpah, nggak sengaja. Gini, deh, mabar nanti siang, ya."

Akarsana tanpa berpikir panjang langsung menepuk kepala Rangga, "Pala kau yang kumabarin. Mau?"

"Jangan." Rangga mendramatisir, pemuda itu bersimpuh di kaki temannya dan menempelkan telapak tangannya untuk memohon, sampai digesek-gesek.

Akarsana mendengus kesal. Dia kembali ke tempatnya dan mengambil kertas baru untuk mengulang perencanaan tersebut. Dia mendapatkan sesuai yang pasti, seperti menyewa tenda, panggung, kursi. Tetapi, Akarsana berpikir kalau bisa jadi kursi kelas bisa digunakan. Selain itu, dia lagi menghitung kas kelasnya sendiri.

Nasib merangkap menjadi bendahara di dua kondisi yang berbeda namun nyaris sama.

Si Cassandra belum bayar, nunggak enam bulan. Awas saja, nggak gue izinin masuk kelas ntar, batin Akarsana yang mendumel saat melihat pencatatan tersebut.

Revan dan Marcus sudah kembali mengerjakan pekerjaan mereka, kertas yang berlapis-lapis seperti iklan jajanan ringan di televisi itu lebih menarik daripada opera sabun dadakan Akarsana dan Rangga. Rangga sendiri sudah berdiri di duduk di sofa sebelah Akarsana tanpa niat untuk menjahili.

Gue kapok, batin Rangga yang masih shock dengan kejadian barusan. Tatapan kilat Akarsana seolah-olah memang bertekad untuk menggantungnya di atas tiang bendera.

Pintu ruangan kembali dibuka dan menampilkan sebuah kepala yang menggantung di balik pintu.

"Bang abang, gue sama Farrel numpang adem, ya,"

"Masuk saja, Al." cicit pemuda yang berada di belakang pemilik kepala tersebut. Tanpa ditebak, itu adalah Jihan yang sedang ber-cosplay-menjadi Marcus. Alvaro langsung melebarkan akses masuk dan duduk di sofa berseberangan dengan Akrsana. Jihan buru-buru membuka tas sekolahnya dan mengeluarkan banyak buku.

Beruntung saja tidak menyenggol Akarsana.

"Al, pinjem buku tugas."

Alvaro langsung memberikan satu tasnya kepada Jihan selama dia fokus bermain ponsel. Jihan tidak peduli lagi, dia langsung merampas tas tersebut dan menemukan buku yang dia mau.

"Good morning, everybody."

Pintu yang tidak tertutup itu lagi-lagi kedatangan satu makhluk berkulit tan. Marcus langsung membalas sapaan.

"Good morning, Hyungwoo. Come in and sit here," kata Marcus yang menawarkan tempat duduk di depan mejanya. Berhubung sofa telah penuh diisi oleh empat jiwa astral.

Yang berkulit tan langsung menghampiri Marcus dan duduk di tempat yang ditawarkan, "Hyeong, mwohaseyo?"

Nginep • Jaemin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang