🍁 07 | Nginep

3.1K 204 8
                                    

“Nak Revan, untuk sementara satu kamar dengan Areliano dulu, ya,” kata Brian yang meletakkan koper milik pendatang baru anggota mereka di dekat sofa ruang keluarga yang menjadi ruang tamu.

Revan mengangguk, dia mengambil kopernya, “Mau tanya, Tante? Ruangannya Bang Areliano di mana, ya?”

Elina langsung menunjuk ke lantai dua dimana ada kamar berpintu kayu warna coklat muda, “Di sebelah sana. Eh, Kak, bantu Mama ajak Revan ke kamarmu. Abang, kan, lagi sibuk siding-sidangnya. Takutnya ntar Abang terganggu.”

Seorang pemuda yang berpakaian kaus berkerah polo warna oranye itu langsung menyimpan sepatunya di lemari yang disediakan di samping pintu utama rumah dan langsung menemui ibunya. Dia sempat berkenalan dengan calon pasangan yang dijodohkan dengan adiknya tadi di mobil. Sekalian dengan abang tertua mereka.

“Iya, Ma. Ayo, Revan.” Areliano langsung berjalan mendahului yang lain, Revan membungkuk pamit lalu mengikuti jejak anak kedua pemilik rumah ini menaiki tangga dan sampai ke kamar yang dihuni sendiri oleh si pemilik.

“Kasur gue memang satu. Tapi, cukup lebar untuk kita dua, apalagi lo badannya kurus, berlima juga masih bisa, tinggal jejerin seperti ikan asin saja. Terus, masalah baju lo, gue masih ada bagian lemari yang nggak dipakai. Kali saja, lo perlu untuk gantungin baju lo, gue juga masih ada sisa gantungan yang nggak kepakai.” Areliano menjelaskan kondisi kamarnya yang terkesan putih polos seperti rumah sakit.

Hanya sebuah kasur besar di tengah, lemari yang menempel di dinding sebelah kasur dan meja belajar yang letaknya tepat di depan jendela kamar. Sebuah meja yang lebih besar berada di samping sebelah kasur tersebut, yang dibuat menjadi ada banyak tumpukan kertas dan tas selempang warna hitam di sana.

“Di sini tidak ada televisi. Papa emang nggak pernah mau anaknya mendekam di kamar. Jadi, televisi hanya ada dua, di ruang keluarga tadi dan master room punya Papa dan Mama. Lo kalau mau main playstation atau menonton film secara online dari televisi bawah saja. Tapi, sini adalah kulkas mini. Gue kadang mager ke dapur. Lagian, Bang Danish sama Adek itu sering nyolong jajanan gue. Gue nggak marah, sih, tapi keseringan juga lelah batin.”

Pendatang baru itu mengangguk walaupun dia tidak pernah merasakannya.

“Jadinya, gue beli kulkas mini. Isinya jajan. Lo kalau mau ambil saja, nggak apa-apa. Kadang Bang Danish sama Adek juga tetap ngambil dari sini. Padahal, kulkas bawah juga ada jajannya gue.”

Terus, apa gunanya kulkas mini itu? Gue kira sebagai tempat penyimpanan rahasia gitu, batin Revan yang berpikir keras tentang keberadaan kulkas tersebut yang ada di sebelah kasur Areliano. Walaupun begitu dia tetap mengangguk, “Makasih, Kak Areliano.”

“Kak Lian saja.” Sanggah Areliano yang kemudian merupakan kalimat terakhir sebelum mereka berdua terdiam.

“Ya sudah. Gue mau mandi dulu, gerah,” kata Areliano setelah melihat Revan yang menatapnya balik.

Areliano segera mengambil bajunya, lalu memasuki kamar mandi yang memang disediakan di dalam kamar masing-masing. Tanpa berpikir panjang, Revan segera meletakkan kopernya di samping meja besar dan membuka tempat penyimpanan dengan empat roda di bawah. Dia mulai merapikan barang-barangnya. Revan rasa tidak ada yang bisa digantung, mungkin besok akan ada. Revan membuka lemari anak kedua Brian dan menemukan satu bagian di samping kiri kosong.

Nginep • Jaemin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang