🍁 63 | Leaving Party

32 0 0
                                    

1 April 2020
Medan, Indonesia

Sepertinya Vanilla tidak boleh merendahkan ekspektasinya untuk semua hal yang berhubungan dengan Revan Dimas Ivander. Dia dan kedua sahabatnya melongo lebar begitu dibawa ke hunian apartemen. Siapapun juga tahu kalau biaya sewa apartemen ini mahalnya selangit bahkan digadang-gadang sebulan sudah setara dengan biaya pesawat ke negara Eropa.

"Kita bukan tersesat, kan, Van?" tanya Alessandra menyenggol bahunya tidak percaya.

Dia baru saja menginjak di lobby apartemen dan mengintip dari sini, bagian dalam akan lebih membuah heboh dari ini.

Evan
[Jam 3 sore, ajak teman-teman lo ke apartemen gue, ya]
[Park Hyung Woo sudah mau balik ke Korea]

Evan shared location

[Jangan lupa, Vanie]

Pesan yang dia terima membuatnya langsung menelepon si kembar ini untuk menemaninya ke sana. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak, dia langsung mendial nomor yang menjadi penolongnya sekarang.

"Van, ini ... serius apart lo?" tanya gadis tersebut yang melihat si kembar dengan mata yang kebingungan.

"Oh? Sudah sampai? Masuk aja, bilangin lantai tujuh." Suara Revan diseberang terdengar santai.

"Masuk kepala lo petak, ngomong kek kalau apartemen lo tuh Lotus Apartment! Lo turun sekarang, jemput!" teriak Vanilla yang kepalang kesal dan menyakukan ponselnya kembali.

"Wow ... memang hanya teman gue yang berani bentak ketos, mana dipaksa untuk jemput lagi," kata Alessandra yang bertepuk tangan mendengar percakapan dari sisi sahabatnya itu.

Cassandra hanya mengangguk mendukung.

Biasanya siswa-siswi khususnya anak hawa akan memakai nada sok manja dan centil, sengaja diperhalus kalau berbicara dengan Revan. Tentu ada tujuannya, apa lagi kalau bukan berharap dilihat oleh pemuda ini. Namun, sepertinya tidak berlaku untuk Vanilla dan mereka.

Cassandra memang tidak berencana untuk berbicara dengan pimpinan kesiswaan itu sama sekali. Andaikan akan berbicara juga menggunakan suara yang sama seperti biasanya, sama dengan Alessandra yang berpikiran demikian.

Dia hanya tidak menyangka, Vanilla, sahabatnya bisa menaikkan nada untuk orang yang biasanya diam-diam dikagumi oleh kaum hawa.

"Hubungan lo sudah sampai mana dengan Revan?" tanya Cassandra basa-basi, tidak lebih tepatnya dua puluh lima persen diisi dengan keingintahuan belaka.

"Heum?"

"Lo dengan si ketos itu, sudah sampai mana?" ulangnya yang hanya mendapatkan jawaban angin sepoi-sepoi.

Alessandra duluan berteriak kencang, "Woi! Jangan bilang lo belum official sama dia?"

"Pelanin suara lo, kita di tempat yang high class bukan hutan rimba. Official, sudah," kata Vanilla yang mengejutkan mereka berdua.

"Official jadi teman baik," sambungnya yang meretakkan pikiran si kembar ini.

"Dia belum nembak lo? Jadi, selama dua minggu ini lo ke ruang OSIS, ngapain anjir? Numpang tidur?" Alessandra bertanya dengan nada gemas.

"Emangnya dia suka sama gue? Nggak, deh. Gue suka sama dia?"

"Capek ngomong sama orang yang pekanya seperti sinyal di pedalaman yang terpelosok. Nggak bakalan nyambung," cibir si bungsu sekaligus sebagai penanda selesai obrolan mereka. Karena, Revan sudah terlihat batang hidungnya.

"Sorry lama. Anak-anak lagi kayak hewan liar soalnya,” ucap Revan. Siapapun juga tahu kalau anak itu berbicara dengan Vanilla saja seorang.

I’m not here, Sir. I’m a hallucination, batin Alessandra yang jengah dengan percakapan kedua muda-mudi.

Nginep • Jaemin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang