SA #28

50 2 0
                                    

Selamat malam!

Sini ngumpul bentar buat liat kejombloan kita 😁

Chapter ini seger gaes, soalnya aku lagi nyantai :)

Jangan lupa pencet bintang ya ges ya!

Selamat Membaca River 🌹

.
.
.
.
.
.
.


Ruang tamu bernuansa klasik disinggahi oleh pasangan ibu dan anak di hari malam yang dingin. Tersedia secangkir teh lemon hangat sebagai teman mengobrol. Sofa mewah elegan diduduki dua manusia yang siap bercengkerama santai.

Kaki Nara menyilang anggun dengan posisi badan menyerong ke arah putra tercinta, kedua tangannya bertumpu di atas paha. Kilat wajah penuh tanda tanya pada sang anak yang tak kunjung bicara, membuat Nara berinisiatif memulainya lebih dulu.

"Dion mau ngomong apa? Ibu liat daritadi kamu diem aja." Nara membuka percakapan.

Gesekan kuku tangan, ketukan resah pada kaki kiri, juga aturan napas gelisah pada Dion, kian menumpuk rasa khawatir sang Ibu. Tangan lembutnya terulur untuk memberi usapan hangat kepada pundak kanan sang putra.

"Ngomong sama ibu, jangan diem aja. Terlalu lama disimpan sendirian itu enggak baik, bikin batin kamu tambah sakit," bujuk Nara.

Dion mencoba menatap mata Ibunya. Takut-takut bibirnya yang terkatup mulai dibuka. Dion mengembuskan napas panjang, melepaskan perasaan ragu dalam diri.

"Dulu, waktu Ibu pacaran sama Ayah caranya gimana?" Dion bertanya antusias.

Bibir Nara mengukir senyum. Ada sedikit gelak tawa saat mendengar pertanyaan dari putranya. Nara setengah bergeser mendekati Dion, mengambil salah satu pergelangan tangan putranya untuk ia genggam, memutar sekilas memori masa lampau guna bahan pembahasan.

"Waktu kita masih SMA, Ayah duluan yang nembak Ibu. Sebelumya kita enggak saling suka, justru kita suka sama yang lain. Tapi, gak tau dapet hidayah dari mana, tiba-tiba Ayah nembak Ibu gitu aja. Sat set, sat set gitu lah! Lucu tau tingkah Ayah pas mau nembak ibu." Nara bercerita.

Kedua pasang telinga Dion mendengar begitu jeli nan seksama terhadap segala cerita indah Ibunya. Siapa tau lewat cerita ini bisa menjadi motivasi dan inspirasi dirinya untuk bisa sembuh dari trauma. Bisa bebas dari jeratan luka.

"Dulu Ibu bener-bener nggak suka sama Ayah, hati ibu kayak ketutup beton buat suka sama laki-laki. Tapi bukan berarti Ibu jalan ke arah yang salah, emang masih nyaman sendirian. Sampai ketika Ibu enggak sengaja nabrak dia di lobi sekolah, hari itu juga tiba-tiba Ayah ngakuin cintanya secara gamblang. Di depan anak-anak! Duh, super malu waktu itu, apalagi mereka dukung ibu buat terima cinta Ayah," lanjut Nara menguraikan sejelas mungkin.

Dion izin menyela penjelasan ibu, "Maaf, Bu, aku mau nanya. Ibu benci enggak sama Ayah? Atau mungkin sama semua laki-laki?"

Nara menggeleng diiringi senyum simpul. "Enggak pernah, Dion. Ibu enggak benci Ayah, tapi ibu juga enggak suka sama dia."

"Yah... bisa dibilang, sebelum rasa itu hadir, secara enggak langsung Ibu enggak anggap kehadiran Ayah. Dia ada di depan mata, tapi Ibu enggak ngerasain aura itu. Enggak tau nih hatinya dibuat dari apa, males aja gitu kalo ada cowok deketin ibu," ungkap Nara sejujurnya.

"Tapi akhirnya, takdir terus deketin kita lewat segala cara. Dan ... disinilah kamu berada. Ayah kamu itu satu-satunya orang asing yang sukses buka hati Ibu yang rapat. Sampai-sampai kakek kamu heran lho ngeliat anaknya demen ngejomblo. Itulah hebatnya takdir dari Tuhan!" Penjelasan Nara telah usai. Mereka menghabiskan kenangan sebagian masa lalu selama 30 menit.

SEPUCUK ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang