SA #34

9 1 0
                                    

Selamat Membaca River

🥀

🌹

Malam ini panti asuhan Mawar Biru sedang melakukan jadwal rutin. Biasanya setiap dua minggu sekali, Bunda Lestari selaku pemimpin panti mengarahkan kepada anak-anak untuk berbagi cerita di ruang keluarga utama. Lestari sudah menerapkan sistem ini setelah belasan tahun panti ini didirikan. Alasannya simpel, supaya anak-anak panti tidak tenggelam dalam masalahnya. Maka dari itu, Lestari memaksa anak-anaknya untuk bercerita sejujur mungkin, tidak boleh ada yang bohong sedikit pun, dari yang cerita baik maupun buruk.

"Sudah kumpul semua, Nak?" tanya Lestari sembari mengedarkan pandangan, memastikan bahwa anak-anak sudah berkumpul di satu tempat.

Salah satu anak kecil berjenis kelamin perempuan, yang usianya baru saja memasuki tujuh tahun bulan kemarin, menjawab pertanyaan dari Lestari, "Belum, Bunda. Kak Rissa belum dateng."

Lestari mengangguk sambil mengucapkan kata terima kasih. Matanya langsung tertuju kepada Naufal yang asik bermain bersama adik-adiknya.

"Kak Opal ih! Jangan suka cubit hidung aku, nanti bisa penyok tau kak!" Qia mengomel, mengerucutkan bibirnya. Dia ngambek sampai pindah tempat, tidak mau berada di dekat Naufal lagi.

"Ya habis hidung kamu tuh lucu. Mungil tapi mancung, untung kamu masih sepuluh tahun, coba kalo kayak Rissa? Habis kamu dicubit sama cowok-cowok nakal." Naufal tertawa renyah lalu meledek Qia dengan menjulurkan lidahnya.

"Naufal..." Lestari menegur kejahilan Naufal. Nadanya tegas dan dingin.

"Bunda, liat nih kak Ufal suka jailin kita! Masa aku dikatain pajangan ondel-ondel!" Salah satu anak seumuran Qia mengadu pada Lestari, dia laki-laki.

"Kak Naufal nih ya, udah tua tapi pikirannya suka nggak jelas. Untung aja kak Rissa sabar, coba kalau orangnya gampang marah? Pusing kita dengerin kalian berantem terus," kesal Hira yang berada di depan Naufal, dia berbalik ikut menegur. Usianya tidak jauh beda dengan Rissa, hanya saja Rissa dua tahun lebih tua dari Hira.

Merasa situasi sudah tenang pasca Hira yang menegur Naufal, Lestari baru bisa angkat bicara seusai kenyang menyaksikan tingkah mereka yang lucu.

"Udah selesai? Marahnya dilanjut nanti aja ya." Lestari berpesan dengan raut serius.

Sementara Qia diam merajuk, tidak mau berkata apa pun walau temannya berusaha mencairkan suasana hati Qia.

"Buset dah... itu bocah kalo marah hobinya silent treatment. Kecil aja udah begitu, gimana gede nanti ya? Jangan sampai ada Rissa kedua deh, berasa melihara banteng satu desa gue." Naufal bergumam pelan. Membayangkannya saja sudah mengerikan, bagaimana jika itu menjadi nyata?

"Abang ish! Dipanggil Bunda Tari dari tadi malah asik ngedumel! Ngupil lagi, jorok!" Lin mencubit lengan Naufal hingga terdengar suara mengaduh.

Naufal mengikuti arah pandang Lin, dan mendapati Lestari yang sedang menatapnya dengan tajam.

"Bunda udah biarin kalian ngobrol dulu biar enak nanti diskusinya. Malah keterusan sampai lupa waktu. Terutama kamu Naufal," tegas Lestari berusaha untuk tetap tenang.

Naufal meringis sambil garuk-garuk kepala, malu dengan tingkahnya barusan yang seperti bocah SD. Naufal mengangguk dan duduk bersila menatap Lestari sambil meminta maaf.

Terlihat Lestari yang menghela napas panjang, sepertinya dia sudah kesal, tapi demi anak-anak Lestari rela bila kesabarannya harus setebal duit merah yang terkumpul rapih di dalam dompet.

SEPUCUK ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang