SA #21

39 2 0
                                    

Hai River! Gimana mood hari ini?

Jam berapa sih kamu baca part ini? 🤩

Ayok spill bias favorit kalian, uhuy 🙂

Selamat Membaca ya ^^

Sebelum naik bus, Rissa meminta Dafi untuk menemaninya ke kedai Matcha. Lokasi kedai tersebut kurang lebih 15 menit dari jarak sekolah. Dekat dengan titik halte bus. Dafi diminta Rissa untuk duduk di bangku kayu dengan ukiran abstrak. Itu merupakan bangku favorit Rissa selama enam tahun jadi langganan di sini.

"Kayak biasa ya, Mbak!" pesan Rissa pada Mbak Kasir.

"Siap, Rilian! Silahkan duduk dulu sambil menunggu pesanannya." ujar Mbak Kasir.

Informasi sedikit, Mbak Kasir ini namanya Desti. Dia sudah kenal Rissa selama empat tahun. Maka tak heran jika saja perilakunya sudah seperti teman sendiri.

"Iya, Mbak. Sekalian aku mau liat-liat tempat ini dulu," tanggap Rissa.

Di samping kasir ada kursi tinggi untuk mereka yang mau duduk tapi enggan jauh dari kasir. Bentuk mejanya setengah lingkaran, jadi sekarang posisi Rissa duduk ada di sudut kiri dekat dinding. Rissa menopang dagunya dengan kedua tangan, mata tajam Rissa mengamati tiap senti kedai ini.

"Kamu kemana aja sih selama seminggu ini? Mbak kangen tau, biasanya tiap pulang sekolah paling semangat jajan di sini." Desti bertanya seusai melayani pelanggan.

Rissa menjawab santai, "Mau libur dulu, Mbak. Soalnya habis dikasih nasihat panjang sama bunda."

Mata Desti membulat bahagia mendengar panggilan itu. Lantas, Desti meminta Alwan untuk menggantikan posisinya.

Desti melipir ke pinggir, mendekati Rissa yang asik memandangi lingkup sekitar. Desti menarik kursi kayu dengan tingginya yang sama seperti yang dipakai Rissa. Dia melepas topi yang menjadi ciri khas mereka. Dengan bentuk topi seniman namun punya warna dan corak tersendiri.

"Aku udah lama enggak denger kabar, Bunda. Beliau sehat?" Desti bertanya kepo.

Rissa menghela napas untuk melegakan sesak di dada. Bukan apa-apa sih, kayak tiba-tiba pengap aja gitu. Sekarang tangan Rissa tersilang di atas meja.

"Bunda sehat kok, Mbak. Kakak juga kabarnya baik," jawab Rissa.

"Huft ... Syukurlah semuanya baik-baik aja. Tapi, kamu sendiri baik kan?" embusnya lega diakhiri tanya.

Rissa jelas mengangguk. Memamerkan senyum riangnya kepada Desti. Sesaat mata Desti melirik seorang pria di salah satu sudut kedai. Duduk sendirian sambil bermain ponsel. Kemudian gantian melirik Rissa yang wajahnya makin berseri-seri.

Desti berdeham upaya menggoda Rissa. "Ekhem! Pantes aja mukanya berseri-seri. Sampe satu kedai ketabur sama aura positif kamu."

Sontak Rissa diam. Menautkan kedua alisnya dengan tampang bingung.

"Pantes? Kan emang aku lagi bahagia, Mbak?" ulang Rissa, bingung.

Desti makin berdeham, kali ini sedikit ditekan sambil melirik ke arah target. Desti seperti tau apa yang terjadi diantara mereka berdua.

"Iya bahagia, ekhem! Bahagia kok, bahagia. Tapi ya ... Si itu tuh! Si ekhem!" goda Desti, menyikut pelan lengan kanan Rissa sambil terus melirik Dafi.

Mata Rissa bergulir ke arah Dafi. Oh sial, dia baru paham apa maksud perkataan Desti. Maka Rissa mencubit kecil tangan Desti hingga sang empu meringis sakit. Tenang, pelan kok cubitannya.

"Sakit atuh!" keluh Desti. Mengusap kasar tempat yang jadi sasaran.

"Ya lagian! Mbak ngiranya aku tambah bahagia karena dia? Dih, nggak banget!" protes Rissa, ngambek.

SEPUCUK ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang