Dua hari sebelum dia pergi
Yuna menerima pesan aneh dari pengirim asing, bahkan kedua temannya pun mendapatkan pesan serupa. Isi pesannya memang singkat, namun mampu membuat mental mereka terguncang.
Awalnya Yuna ingin bersantai sehabis mengerjakan tugas yang tiada hentinya, namun berkat pesan romantis yang mematikan ini, ketenangan Yuna bagaikan direnggut dalam sekejap.
08xxxxxxxx :
Sayang, hidup kamu akan jauh lebih hancur setelah ini. Bersiaplah manis, kalian sudah berani mengganggu nyawa berharga kami.Yuna tidak mau berprasangka buruk terhadap orang itu, akan tetapi jalan pikirannya paham betul kemana arah pembahasan "nyawa kami" tersebut. Jika dikaitkan dengan kejadian beberapa minggu yang lalu, menjadi hal wajar apabila mereka mendapatkan pesan ancaman seperti ini.
"Orang gila mana lagi yang mau hancurin kehidupan gue?" Yuna bergumam pasrah saking pusingnya menghadapi masalah hidup yang seolah tanpa jeda.
"Mentang-mentang gue udah gila, eh lawan mainnya lebih gila daripada gue. F*ck anjir?" Yuna kepalang frustasi, melempar emosi ponselnya ke sembarang arah.
Menutup matanya menahan pusing akan masalah, sambil menjenggut geram rambut legamnya, gadis manis itu sampai mengabaikan panggilan masuk dari teman-temannya. Tangis menyedihkan perlahan pecah memenuhi seisi kamar yang sunyi, gelap kelabu persis seperti alur kehidupan Yuna.
Yuna pikir, ditinggal pergi oleh kedua orangtuanya sudah cukup memporak-porandakkan ketenangan hidupnya, ternyata Tuhan masih memberikan ujian lain yang jauh lebih gila lagi. Yuna merasa, hidupnya di dunia bukan sebagai seorang anak yang sejatinya disayang oleh keluarga tercinta, akan tetapi dia hidup untuk memenuhi karma yang harus ia tanggung akibatnya.
Bahu yang dipaksa kuat masih terguncang hebat. Isak memilukan Yuna bersatu padu dengan lebatnya hujan, menjadi harmonisasi dalam sebuah lagu menyedihkan.
"Gue mati aja kali ya biar orang-orang senyum liat mayat gue? Simpati mereka rasanya neraka bagi gue yang bangsat ini!" Yuna benar-benar sudah pasrah dengan hidupnya.
"Gue tau kok kalau gue salah, tapi siapa lagi kalau bukan karena mereka yang buat gue jadi anak setan kayak gini?!" Murka Yuna melempar habis semua yang ada di atas meja.
"CAPEK.... AKU CAPEK HIDUP TUHAN... BIARIN AKU MATI SUPAYA TENANG..."
Raungan si gadis berwajah jelita terdengar sampai ke lantai bawah, sangat disayangkan tidak ada satupun yang mendengarkan amarah hebat sang majikan. Mereka, para pembantu rumah ini, pergi berbelanja untuk memenuhi kebutuhan bulanan. Oleh karena itu, rumah dalam keadaan sepi tanpa nyawa berharga ini dimanfaatkan Yuna untuk melampiaskan emosinya.
Yuna tersedu-sedu membayangkan hari bahagia yang merupakan peristiwa neraka setiap harinya, bahu yang selama ini ia patenkan supaya kuat menghadapi kehidupan, rupanya tidak demikian.
"Kenapa Bunda sama Ayah ninggalin Yuna? Kenapa Yuna harus lahir kalau Bunda aja nggak sudi menerima kehadiran Yuna?"
"Kenapa Ayah menikah hanya untuk bertanggung jawab? Seharusnya Ayah mikir seribu kali supaya Yuna nggak lahir di keluarga ini..." Derai air mata membasahi rok selutut yang dikenakan Yuna. Suara tangisnya mengalahkan dering ponsel sejak dua menit yang lalu. Menyatu dengan hiruk-pikuk dunia hujan.
Belasan panggilan tertolak betul Yuna abaikan. Gadis itu meraup kasar wajahnya yang memerah. Nafas mulai terasa sesak akibat tangis yang luar biasa hebat. Yuna sampai tertidur di lantai efek lelah usai meluapkan isi batinnya. Dalam kondisi kamar berantakan dan darah yang masih mengalir di pergelangan tangan Yuna, mulutnya masih sempat berucap.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPUCUK ASA
General Fiction| Regasia Series | "ᴅɪᴀ ꜱᴜᴅᴀʜ ᴘᴜʟᴀɴɢ ᴛᴀɴᴘᴀ ᴍᴇᴍʙᴇʀɪ ꜱᴀʟᴀᴍ. ꜱᴜɴɢɢᴜʜ ᴍᴇɴʏᴀᴋɪᴛᴋᴀɴ ᴅɪʙᴀɴᴅɪɴɢᴋᴀɴ ᴘᴜʟᴀɴɢ ᴅɪꜱᴇʀᴛᴀɪ ꜱᴀʟᴀᴍ." -Sҽρυƈυƙ Aʂα Setiap orang tentunya memiliki seribu harapan. Cara mereka mewujudkannya sangatlah beragam. Disamping terwujudnya sebuah...