SA #20

51 2 0
                                    

Selamat Membaca River, kesayangannya Bunda 💜

"IBU AKU PULANG!" salam Dion, bersuara tinggi.

Dion cengar-cengir setiap kali memasuki rumah. Apapun yang berbau dengan rumah yang ia tinggali adalah sesuatu paling bahagia di dunia ini. Rumah inilah tempat ternyaman baginya. Orang terpercaya sepanjang hidupnya menghabiskan waktu di rumah ini.

"Halo, Bibi!" Dion menyapa hangat.

"Eh, Nak Dion udah pulang. Selamat datang!" Bibi menyambut kehadirannya.

Bibi menaruh dua cangkir teh manis hangat ke atas meja persegi panjang berlapis kaca. Lantas Bibi menunduk kepada Dion sebelum pergi ke dapur.

"Semangat kerjanya ya, Bi!" seru Dion.

Dion melepas sepasang kaus kakinya di ruang tamu. Lalu melipir untuk menaruh benda tersebut di tempat khusus. Bokong Dion mendarat mulus  di sofa paling empuk. Televisi canggih menyala kala Dion menekan tombol on pada remote tv.

Kaki Dion berselonjor. Tangannya tersilang ke belakang sebagai bantalan. Dia sedang berleha-leha.

"Anak ibu udah pulang?" Atensi Dion teralih pada suara lembut itu.

Mata Dion berbinar-binar menatap kedatangan Ibunya. Dion ambil posisi duduk di tengah sofa, tangan kanannya menepuk-nepuk sisi yang masih kosong. Meminta sang Ibu duduk tepat di samping dia.

"Reward nya udah terlaksana, Nak? Tadi kan katanya habis zoom meeting mau jajan ke depan," tanya Ibu sembari duduk.

Dion angguk-anguk gemas. Rambutnya jadi bergetar lucu. Sampai jemari-jemari halus Ibu mengacak-acak rambut Dion.

"Tapi maaf ya, Bu. Uangnya nggak cukup buat dibawa pulang. Soalnya uang aku menipis, hehe ... " Dion mengadu.

Ibu sedikit cemberut. Dibelainya wajah putra tercinta. Dilanjut pada surai legamnya.

"Kenapa nggak minta ke ibu? Kalo kamu nggak ada uang, nanti nggak bisa beli jajan dong kayak temen-temen di kampus?" Ibu khawatir.

Dion menangkup pipi Ibu. Tatapan mata Dion berkilat yakin. Dion berujar, "Pasti cukup kok, Bu. Selain aku yang buka usaha kecil-kecilan, kan ada Ayah yang rutin kirim uang."

Memang betul. Dion sendiri menjual pulsa elektrik baik di rumah maupun di kampus dan kadang dia menjual ulang barang-barang online maupun dari temannya.

Sejauh ini, uang untuk sehari-hari hasil usahanya terlampau cukup. Tapi bila untuk satu bulan, terbilang kurang. Makanya, Dion sebisa mungkin menahan hasrat ingin beli ini dan itu seperti teman-temannya.

"Ibu tenang aja, sejauh ini aman kok!" Dion meyakinkan ibu.

"Dana untuk keseharian keluarga lumayan cukup sih. Makanya aku usahakan hemat." imbuh Dion.

Ibu ikutan senyum. Tatapan Ibu begitu tenang tiap kali Dion melihatnya. Ibu jarang sekali marah, sekalipun Dion salah atau nakal, pasti ibu sekedar memberi nasihat. Memberitahu efek negatifnya bila Dion terus saja nakal. Tidak heran bila Dion jadi anak penurut.

"Ibu mau minum? Teh buatan Bibi enak banget, lho!" sanjung Dion.

"Tapi tenang aja, buatan tangan Ibu paling juara di hati aku." ungkap Dion. "Ibu mau?" lanjutnya menawarkan.

Ibu mengangguk. Mereka berdua mengambil cangkir tersebut secara bersaman. Tapi, saat Ibu ingin mencicipi teh itu, Dion malah mengambil alih cangkirnya.

Dion kembalikan cangkir itu ke tempat semula.

"Ibu nggak perlu repot-repot pegang itu. Biar aku aja yang pegang, Ibu tinggal minum deh," cengir Dion.

Ibu membuang napas pelan. Ibu sangat bersyukur, sungguh berterimakasih kepada Tuhan telah menjadikan Dion amanah paling baik untuknya. Kendati demikian, Ibu tetap bersyukur pada anak keduanya, yang ntah saat ini ada di mana.

SEPUCUK ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang