SA #18

50 2 0
                                    

Selamat Membaca River!!!

Pertama kalinya mereka melihat murkanya sosok Amara Lashita Daren. Tepat di depan mata, menyaksikan tanpa jeda bagaimana Amara marah, membentak mereka untuk yang pertama kali, meninggikan suaranya serta raut muka yang jauh dari kata baik.

Getaran takut sempat mereka rasakan. Selama ini yang mereka tau adalah sifatnya yang lembut dan penuh perhatian. Sosok penyabar dan penyayang, yang pada akhirnya memunculkan taring tersembunyi.

Raka berasumsi bahwa kemarahan yang ia lihat belum sepenuhnya ditunjukkan. Pasti masih ada dan mungkin jauh lebih mengerikan?

Sementara Dafi, yang juga menjadi peristiwa pertama kalinya bagi Amara melihat adik bungsunya sebagai laki-laki lembut menunjukkan sisi yang lain.

Amara masih diam usai marah-marah. Deru napasnya belum teratur, air muka Amara sedih disertai tatapan matanya yang kecewa.

Raka merasa bersalah kala menatap sorot kecewanya. Dafi? Ah, dia malah terlihat bingung. Bagaikan orang amnesia yang kembali kepada kehidupannya. Dafi justru celingak-celinguk mengamati seisi rumah yang berantakan.

"Maafin Kakak ... " Suara lirih menelusuri indera pendengaran mereka.

Amara yang semula berjarak lima langkah dari adik-adiknya, kini berjalan mendekat diikuti bentangan tangan yang berakhir pada pelukan.

Amara memeluk keduanya disertai derai air mata. Amara larut dalam kecewa disamping penyakitnya yang kambuh.

"Maaf udah ingkar janji. Harusnya kakak nggak ngomelin kalian, harusnya kakak nurut sama saran, Bu Ayu," sesal Amara.

Masing-masing baju mereka mulai basah oleh air mata Amara. Amara mengusap lembut setengah punggung kedua adiknya.

Raka dan Dafi saling berpaling agar tidak menatap Amara. Menahan pedih yang mendalam bahwa tidak seharusnya kakak tersayang mereka tau perdebatan ini.

Memang, Amara belum tau apa penyebabnya, tapi dia tetap saja tau aksi baku hantam satu sama lain. Sampai Raka rasanya ingin angkat kaki sewaktu bingkai foto satu-satunya yang berisikan mereka bertiga hampir pecah menghantam lantai yang dingin. Untungnya tertangkap dalam dekapan meski wajahnya dihujam tinjuan Dafi.

Amara mendongak, menatap keduanya yang masih berpaling.

"Susah banget ya buat nahan emosi? Kenapa selalu pilih cara kayak gini?" Amara terisak.

Mata Raka bergulir menatap Dafi lewat ekor matanya. Perlahan rahang Raka kembali mengeras tiap ingat apa yang Dafi perbuat.

Amara melepaskan rengkuhannya, diikuti mengendurnya rahang Raka. Maksudnya, jadi biasa saja. Wajah santai seperti biasanya.

Amara menyeka air mata. Tapi malah keluar lagi. Bahunya masih bergetar. Isaknya masih terdengar.

"Kita makan aja yuk? Kakak suapin kalian," ajak Amara diakhiri senyum tipis.

Kebingungan Dafi bertambah dua kali lipat. Kenapa Amara terlihat begitu hancur? Sedih, juga kecewa. Tangan Dafi terulur cepat untuk menghapus jejak air mata Amara.

"Kenapa nangis, Kak?" tanya Dafi.

Amara mengerutkan kening. Kenapa nangis? Kok Dafi malah nanya gitu?

"Siapa pelakunya, Kak? Ayok ngomong sama aku!" pinta Dafi, memaksa.

Mata Dafi menyapu bersih keadaan rumahnya saat ini. Kepalanya jadi pusing dengan segala kejadian yang terjadi.

"Kenapa rumah jadi berantakan gini dah? Seinget aku, waktu aku pulang kondisinya bersih dan rapih?" Dafi makin dibuat bingung. Pening di kepala kian bertambah.

SEPUCUK ASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang