Selamat Membaca River
Selepas perdebatan dengan Raka, Amara bergegas pergi mengunjungi Taman Senja. Memastikan bahwa suatu objek yang terselip di dalam foto tersebut memang ada di lokasi.
Sudah setengah jalan menuju lokasi, Amara melihat jam dinding sewaktu melewati warung soto. Butuh enam detik agar Amara tersadar akan masalahnya.
Detik berikutnya Amara terperangah, langsung putar arah dengan kondisi jantung berdegup gelisah. Dia berlari pulang ke rumah sambil komat-kamit lantaran takut kena hukuman. Takut masuk ke dalam buku absen sehingga mempengaruhi nilai-nilainya nanti.
Amara hampir menabrak tong sampah dan seorang Satpam yang bertugas menjaga keamanan kompleks. Kebetulan dia tidak membawa ponsel ataupun jam tangan, jadi setiap kali langkahnya melewati deretan rumah, mata Amara menajam ke ruang dalam. Siapa tau ada jam dinding yang bisa dijangkau oleh pennglihantannya.
Pintu pada salah satu rumah masih terbuka lebar. Amara memperlambat kecepatan larinya, mengamati begitu jeli ke arah jarum jam yang menunjuk tepat pukul tujuh malam.
"Baru juga jam tujuh, kenapa tetangga pada tutupan semua ya ampun?!" gerutunya. Amara lanjut berlari.
"Udah mandi sih, tapi isi tas kemarin belum aku keluarin," kesal Amara.
"Ck! Pasti tas aku di semutin nih!" decak Amara.
Tujuh belas menit berlalu, Amara sampai di rumah dalam keadaan letih. Amara duduk sebentar di bangku teras sambil memegang pinggangnya yang terasa pegal, hitung-hitung memulihkan tenaganya yang terkuras setengah.
Amara memegangi dadanya yang bergerak naik turun. Deru napas Amara hampir tidak beraturan.
"Aku bengek. Sempit amat paru-paru aku." racau Amara.
Amara melotot kaget. "Eh, maaf-maaf! Maksud Amara nggak gitu, Ya Allah. Refleks, hehe ... " koreksinya, takut.
Amara melihat berbagai tanaman yang telah ia rawat. Meskipun sudah malam dengan temaram lampu taman, tetap tidak menutupi keindahannya. Udara semakin segar terlebih ada pohon rindang di dekat taman mini.
Angin sepoi menerjang tubuh Amara yang hanya memakai baju panjang dan celana Levis selutut. Amara menggosok telapak tangannya kemudian ia salurkan rasa hangat itu pada kedua pipi.
Lepas melakukannya sampai tiga kali, Amara melamun menikmati aura malam. Belum ada satu menit, suara kodok pemanggil hujan menghancurkan fantasinya.
"Kak?" panggil seseorang.
"Cukup kodok yang bikin aku kesel. Jangan setan dan kawan-kawannya," tukas Amara.
Dia bergidik ngeri. Refleks melihat area sekitar yang tiba-tiba terasa mencekam. Dia memeluk dirinya sendiri lalu berlari masuk ke dalam.
"KAK MASUK SINI! ADA SETAN GUNDUL, CEFAT KAK CEFAT!" Dafi teriak ketakutan di balik pintu. Dia kembali lari ke kamar untuk bersembunyi dari kawanan makhluk ghaib.
Amara mendengus lelah. "Telinga aku jadi ngang ngong, ngang ngong."
Amara berdiri. Tiga langkah berikutnya, Amara tersadar sesuatu. Keningnya mengkerut.
"Tadi itu Dafi? Atau setan ya?" pikir Amara disusul gidikan ngeri.
Amara berlari masuk ke dalam tanpa menutup pintu. Dibiarkan terbuka setengah agar angin luar yang segar ditukar masuk oleh udara dalam yang lumayan pengap. Sewaktu Amara lihat ke langit-langit rumah, rupanya kipas dalam kondisi mati. Pantas terasa panas.
Amara memungut tas selempang yang tergeletak di lantai, di samping lemari baju. Langsung saja ia tumpahkan semua isinya.
Amara berseru lega, "Untung aja bekas permennya sempet aku buang!"
![](https://img.wattpad.com/cover/258629969-288-k708550.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
SEPUCUK ASA
Художественная проза| Regasia Series | "ᴅɪᴀ ꜱᴜᴅᴀʜ ᴘᴜʟᴀɴɢ ᴛᴀɴᴘᴀ ᴍᴇᴍʙᴇʀɪ ꜱᴀʟᴀᴍ. ꜱᴜɴɢɢᴜʜ ᴍᴇɴʏᴀᴋɪᴛᴋᴀɴ ᴅɪʙᴀɴᴅɪɴɢᴋᴀɴ ᴘᴜʟᴀɴɢ ᴅɪꜱᴇʀᴛᴀɪ ꜱᴀʟᴀᴍ." -Sҽρυƈυƙ Aʂα Setiap orang tentunya memiliki seribu harapan. Cara mereka mewujudkannya sangatlah beragam. Disamping terwujudnya sebuah...