"Loh, malam-malam datang ke sini. Ada apa, Ivan?"
"Saya mau titip ini buat Teresa, Tante. Katanya dia sakit." Ivan memberikan papper bag berisi obat-obatan yang mendadak ia beli setelah Doni bercerita soal Teresa pingsan siang ini.
"Aduh .... Kenapa harus repot-repot? Kalau gini bisa-bisa giliran kamu yang sakit!"
"Nggak, Tan. Saya kan kuat." Ivan terkekeh sambil mengusap air hujan yang mengalir di dahinya.
Dian ikut terkekeh. "Mau masuk dulu, nggak? Hujannya belum reda, loch."
"Nggak usah, Tan. Saya langsung pulang aja. Kalau bisa bilang aja obatnya bukan dari saya." Ivan menyalami Tante Dian kemudian berbalik badan untuk pergi.
"Tunggu, Van!"
Ivan menoleh lagi dengan kunci motor dalam genggaman. "Iya, Tan?"
"Kalau ada masalah sebaiknya diselesaikan cepat-cepat. Kemarin dia tidur di sofa karena banyak pikiran."
Netra hitam Ivan membulat lebar. Doni tak bercerita soal bagian ini. "Iya, Tan. Saya selesaikan sama Teresa secepatnya."
"Baik-baik, ya."
Ivan mengangguk lagi. "Maaf, Tan. Udah buat Teresa jatuh sakit."
Ivan memutar badan tanpa menoleh lagi. Membiarkan tubuhnya dijatuhi rintik hujan dan meninggalkan rumah Teresa.
"Hati-hati!"
Suara teriakan Tante Dian samar-samar terdengar. Tubuhnya mulai kebasahan di atas motor.
Deru mesin motor yang mengebut ditambah suara rintik hujan di atas genting menjadi saksi penyesalan besar Ivan. Tidak bohong, rentetan kalimat yang ke luar dari mulut Doni berputar-putar terus di kepalanya.
"Gue mulai dengan kebohongan bukan berarti perasaan gue sama Teresa itu main-main, Don!" Ivan membantah.
"Iya aku ngerti, tapi nggak ada true love start with a lie, Van. Bahkan ini bukan kebohongan biasa, it's such a big fat lie!"
Ivan pahan maksud Doni kebohongannya amat besar. Namun, ia ingin Doni paham bahwa persoalan ini tidak mudah.
"Lo ngerti gak sih gue gak punya mental sekuat lo buat ngadepin Naresh sama temen-temennya! Lo tahu nggak gue jatuh cinta sama mantan pacar temen gue! Naresh masih cinta sama Teresa, Don! Sebenci apa dia sama gue kalau tahu gue rebut perempuan yang dia cinta!"
"Kalau kamu serius sama Teresa, harusnya bisa nerima kebencian itu. Setiap keputusan pasti ada harga yang harus dibayar, Van."
Ivan kesal karena kalimat Doni benar sore tadi.
Saat ini, Kawasaki W175-nya berhenti di depan kedai yang sudah bersahabat sejak lama.
Tak seperti biasanya, menginjakkan kaki ke tempat ini rasanya takut, malu dan khawatir bagi Ivan.
"Oy, Van!"
"Si anjing datang, euy!"
Ivan menjabat satu per satu tangan sobatnya. Banyak lelaki sedang bersandar sambil bersenandung ria, ada yang sedang merokok sambil menatap rintik hujan, ada yang sedang bersantai sambil menonton film dewasa. Ivan sudah familiar dengan suasana kedai ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
If We Didn't Meet
Teen FictionGara-gara americano yang tak sengaja mengotori sepatunya, Teresa berjumpa dengan Ivander Gabrian Adhitama dalam skenario alam semesta yang gemar menjadi mak comblang di panggung sandiwara ini. If We Didn't Meet berbicara tentang persahabatan, cinta...