"Lo gak malu masuk ke dalem dengan penampilan kayak gini?"
"Malu? Buat apa gue malu? Ini baju dari Ivan. Gue pede pakenya!""Iya emang dari Ivan, tapi lo tahu gak yang milih itu gue?"
"Hah?"
"Kaget, ya? Gue yang kirim paketnya ke rumah lo! Makanya lo bisa telat datang ke sini."
"Sialan!"
Teresa melangkah maju sambil mencoba mendorong Lexi, tetapi tak berhasil. "Licik lo, ya! Jahat banget dari waktu itu!"
Lexi terdiam sejenak, sebelum wajah angkuhnya datang lagi. "Gue bukan jahat, Sa! Gue cuma kasihan sama lo! Lo dateng ke sini sama aja malu-maluin diri sendiri! Lo gak lihat lingkungan Ivan semewah apa, ya? Masih gak bisa sadar diri? Kalo lo masuk? Lo gak bisa bayangin senorak apa nanti lo di dalem?"
Rasanya Teresa ingin menjatuhkan diri ke tanah. Kalimat Lexi benar dan ia malah kesal juga marah mendengarnya.
"Kenapa diem? Pulanglah. Jangan malu-maluin diri lo sendiri." Lexi mengelap maskara yang tak sengaja tercoret di dahi Teresa. Kelalaian Rubi.
"Kasihan banget lo, Teresa." Lexi memasang wajah sedihnya. "Lagian diajak Ivan ke acara semewah ini kok mau-mau aja. Untung gue buat lo sadar."
Wajah Teresa rasanya panas, air mata benar-benar ingin luruh sekarang ini. Ia malu dan Ivan tega membiarkannya di posisi ini sendirian.
"Gue balik, Lex. Makasih udah sadarin gue."
"Oh tunggu!" Lexi menahan Teresa.
"Gue pesenin mobil buat lo."
"Gak usah!" Teresa tak mau dibantu oleh perempuan di depannya. Teresa tak suka Lexi. Tidak pernah.
"Jangan keras kepala! Ivan bilang lo keras kepala ... dan gue gak sesabar dia!"
"Gue mau balik sendiri—"
"Lo pikir gue tega biarinin lo balik jalan kaki pake baju terbuka kayak gini?"
Teresa diam. Biar Lexi berbuat sesukanya. Teresa tak paham apa yang ada di pikiran Lexi. Kadang jahat, kadang begitu peduli padanya.
"Gue udah pesen, gue temenin lo tunggu di sini."
Teresa mengangguk.
"Gue harap Ivan sama keluarganya balik cepet dari luar kota nanti."
Teresa menoleh cepat. "Hah?"
"Soal ke luar kota itu? Lo gak tahu lagi jangan-jangan?"
Hati Teresa mencelos. Lagi dan lagi ia menjadi yang paling bodoh. "Kagak tahu gue, Lex." Bibirnya terasa kaku dan dadanya kembang kempis menahan seluruh emosi.
"Astaga. Hal ini aja Ivan gak kasih tahu lo? Ivan sama keluarganya mau ke luar kota malam ini buat keperluan Om Candra."
"Malam ini?"
"Iya, Teresa."
Teresa tertawa singkat. "Makasih infonya, Lex. Sama kayak lo, gue juga harap mereka balik cepet."
Beberapa menit dalam keheningan dengan wajah yang mulai kaku oleh angin malam, mobil berhenti di depan mereka berdua.
"Tuh."
"Makasih banyak."
Jarang Teresa mau berkata terimakasih, tapi kali ini, entah kenapa. Hati Teresa rasanya lelah. Padahal pagi tadi ia sudah berantusias dan mengerahkan seluruh waktunya untuk pertemuan ini. Hasilnya benar-benar mengecewakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
If We Didn't Meet
Teen FictionGara-gara americano yang tak sengaja mengotori sepatunya, Teresa berjumpa dengan Ivander Gabrian Adhitama dalam skenario alam semesta yang gemar menjadi mak comblang di panggung sandiwara ini. If We Didn't Meet berbicara tentang persahabatan, cinta...