Bagian 38 – Suara Hati
Ivan's POV
"Ini mungkin cerita yang gak pernah tertarik buat aku ceritain, tapi ada beberapa keadaan di mana papa minta aku ketemu sama dia buat sekedar ngobrol di teras rumah. Kadang papa tiba-tiba bangunin aku tengah malam cuman untuk nemenin dia melamun, karena semenjak Ravendra pergi, dia gak pernah bisa tidur tepat waktu."
Gue mengeratkan lengan gue yang melingkar di pinggang kecil Teresa. Kemudian, gue menghela napas kasar dan melanjutkan bagian yang cukup sakit buat gue ucapin.
"Aku terlalu dibutakan sama apa yang menurut aku adalah cara terbaik buat papa tetep stay, aku terlalu fokus cari di mana keberadaan Ravendra ... padahal dia lebih butuh aku di sampingnya. Dia lebih butuh aku buat nemenin dia dalam kesepian dan keterpurukan."
Setelah beberapa lama gue yakinin Teresa kalau gue udah baik-baik aja, kita memutuskan buat kembali ke kamar. Lalu, gue minta dia buat stay di sebelah gue, karena gue butuh itu. Jadi, sekarang dia lagi tidur di samping gue.
Panic attack hari ini bukan yang pertama. Panic attack pertama gue adalah satu tahun lalu, saat buka pintu kamar mandi dan lihat papa kehabisan napas di dalam bathtub. Itu salah satu hari terburuk gue, karena gue pikir gue akan kehilangan satu anggota keluarga gue lagi. Semenjak hari itu, gue selalu mudah kena serangan panik. Yang bikin panic attack hari ini beda adalah biasanya serangan itu akan berlangsung 15-20 menit di diri gue, tapi waktu Teresa di samping gue, gue sadar kalau itu hanya berlangsung sekitar 8 menit.
Gue tersadar kalau keberadaan seseorang yang care sama kita bisa nyelamatin kita di beberapa keadaan. Sekarang pertanyaannya adalah apa gue kurang peduli sama papa sampe gak bisa bantu dia berubah pikiran sama keputusannya?
"Karena setiap kali papa butuh aku ... aku ngerasa kalau aku cuman pilihan kedua. Makanya tiap kali papa minta aku buat temenin dia, sebisa mungkin aku menghindar, because I never wanna be a second choice."
Teresa natap gue, ini yang pertama dia natap gue dalam jarak sedekat ini. Gue bahkan bisa lihat bulu matanya yang lentik sama bola matanya yang melebar waktu natap gue.
"Aku gak pernah tahu keseriusan papa waktu dia pengen ngehabisin waktu sama aku. Sampai akhirnya kita selalu sadar waktu kita udah kehilangan orang itu. Aku tahu kalau aku gak pernah jadi pilihan kedua, itu cuman sesuatu yang aku ciptain sendiri. Karena papa butuh aku bukan sebagai pengganti Ravendra ... papa butuh aku sebagai Ivan, sebagai anaknya yang gak pernah dia lupain." Gue memperbaiki posisi, karena nampaknya Teresa ngerasain pinggangnya sakit, jadi gue lepas tangan gue dari pinggangnya dan beralih ngelus rambutnya.
"Kemarin aku lihat lemari papa yang isinya tabungan dengan tulisan 'Untuk Ivan' di sebelah tabungan buat Ravendra. Selama ini aku gak pernah datang ke ruang kerjanya, karena bagi aku isinya pasti cuman kerjaannya yang selalu dia sembah-sembah dan dia kejar-kejar. Sampai aku buka lemari lain dan isinya jas, itu bukan jas buat Ravendra karena aku tahu jas buat Raven yang mana. Sampai aku tahu-" Gue berhenti ngomong, karena tenggorokan gue kayak ada yang ganjel, gue pengen nangis tiap inget jas itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
If We Didn't Meet
Teen FictionGara-gara americano yang tak sengaja mengotori sepatunya, Teresa berjumpa dengan Ivander Gabrian Adhitama dalam skenario alam semesta yang gemar menjadi mak comblang di panggung sandiwara ini. If We Didn't Meet berbicara tentang persahabatan, cinta...