Hiks, welcome to last chapter:)
But this isn't a goodbye. This is the new beginning.
***
—Goodbye, Ivander
Ada pemikiran filosofis yang bilang kalau dinding rumah sakit lebih sering mendengar doa dibandingkan dinding gereja.
Sementara bandara menyaksikan lebih banyak ciuman yang tulus dibandingkan gedung pernikahan.
Maka bandara adalah salah satu tempat yang emosional. Seperti sekarang.
Netra Teresa memaku pada pasangan yang sedang mengucapkan salam perpisahan, disertai ciuman hangat di akhirnya. Kemudian mereka berpisah. Seolah tak akan pernah bertemu lagi.
"Sa?"
Suara pengumuman tentang informasi penerbangan bergema di seluruh sudut bandara.
Tempat ini dipenuhi suara-suara, tetapi lebih banyak gemuruh suara perpisahan.
Pukul 12 siang, Teresa masih menggenggam erat tangan Ivan. Seolah hari ini ada yang hendak merebut Ivan darinya.
"Sa? Kenapa melamun dari tadi?"
Suara tenang itu akan menjadi sesuatu yang Teresa rindukan setengah mati.
"Engga."
Sekarang waktunya, ya?
Ivan mulai melepas genggaman tangan Teresa kemudian memeluk satu per satu sahabatnya.
"Thanks, Don. Udah mau nganterin sampe ke sini," ucap Ivan.
Doni menunduk.
"Kenapa, dah?" desis Fanny. "Dramatis."
"Sukses di sana, Van." Doni berucap dengan air mata yang mengalir di pipinya.
Kirana juga melambai sambil menangis sedih.
"Kalian sukses di sini, ya. Gue bakal pulang kalau hari libur panjang."
"Van, gue yang rusakin kue lo." Tiba-tiba suara Fanny mencuri seluruh perhatian mereka.
Teresa, Ivan, Lexi, Ravendra, Rubi, Kirana, Doni dan Agatha.
"Hah? Lo yang rusak?" Rubi bertanya heran.
"Gue yang hancurin kue ulang tahun lo bikinan Teresa."
Ivan melepas genggamannya pada koper sambil mendesah kasar.
"That's ok. Gapapa, Fan. Lo bantu gue mendorong diri gue sendiri buat nyari tahu apa keinginan gue. Intinya lo hutang kue buatan Teresa ke gue!" ucap Ivan bercanda.
Namun, tak ada yang tertawa.
"Gue serius, guys .... Gue yang rusakin, bukan Lexi." Fanny melirik kawan-kawannya dengan rasa bersalah.
Teresa yang sudah semula sedih dengan hari ini kembali kecewa setelah mendengar kejujuran Fanny.
"Sini." Ivan meminta Fanny menghampirinya.
Keduanya menjauh dari yang lain dan saling berbicara dengan serius.
"Masalah itu udah gue lupain. Gue maafin lo, gue ngerti .... Tapi mohon jangan lo lakuin lagi. Lo gak perlu iri sama siapa pun orang di luar sana, lo gak perlu menginginkan apa yang mereka punya karena lo udah punya kapasitas untuk menampung setiap hal baik di hidup lo," jelas Ivan sambil merapikan tas di punggungnya.
"I saw the result ... gue tahu lo gak lolos."
"Gue bodoh ya, Van?" tanya Fanny.
Ivan buru-buru menggeleng. "Standar macam apa itu? Cuman gara-gara lo gak lulus ... bukan berarti lo gak pinter. Jangan nyerah, Fan. Kalau lo gagal di plan ini ... lo bisa nyoba plan yang lain. Because if plan A doesn't work, you still have 23 alphabets ... gitu kan kata orang-orang?" Ivan terkekeh, mengalihkan suasana yang mendadak sedih di antara mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
If We Didn't Meet
Dla nastolatkówGara-gara americano yang tak sengaja mengotori sepatunya, Teresa berjumpa dengan Ivander Gabrian Adhitama dalam skenario alam semesta yang gemar menjadi mak comblang di panggung sandiwara ini. If We Didn't Meet berbicara tentang persahabatan, cinta...