Dunia yang Luas

27 5 0
                                    

Dunia yang Luas

Ravendra's Pov

Gue mutusin buat pulang.

Tapi gue terlambat.

Lantas kalau alasan gue pulang udah pergi, apa gue masih perlu tetap pulang?

Setelah satu tahun gue pergi ke Jogja dan menjadi pengamen di jalanan Malioboro. Gue balik ke Bandung untuk nengok kawan perjuangan gue yang kecelakaan dan dia gak bisa ikut kompetisi musik karena hal itu.

Abis itu gue ke Jogja lagi. Bukan, bukan karena Jogja adalah tujuan gue. Gue hanya mencoba cari tempat di mana gue gak ditemukan. Di mana gak ada orang yang kenal sama gue, karena gue belum mau pulang. Gue gak mau pulang bahkan.

Waktu gue nginjekin kaki di Jogja, tiap orang nanya nama gue siapa, gue akan bilang gue Ravendra Geraldion. Gue gak akan sebut Adhitama, karena nama itu akan bikin orang kenal gue karena gue anak pengusaha dan berakhir melabeli gue sebagai penerus perusahaan sialan itu.

Gue benci ada yang dikte hidup gue.

Gue benci orang yang melabeli diri gue sebagai apa pun.

Gue benci terkekang.

Gue mau kebebasan.

Awalnya gue pikir itu bukan hal yang salah, sampai gue tahu dari Royan kalau papa meninggal. Papa kandung gue.

Sosok yang selama ini dikte jalan hidup gue.

Sosok yang selama ini malebeli gue sebagai penggapai mimpinya.

Sosok yang kasih gue nama belakang Adhitama.

Dia pergi dan ninggalin tanda tanya besar di dalam hati gue. Apa gue salah pergi dari rumah tiga tahun lalu untuk menemukan tempat di mana gue ngerasa bebas?

Bagi gue, bagian sulit dari perpisahan bukan ngucapin selamat tinggal. Itulah kenapa gue pergi tanpa keraguan tiga tahun lalu. Bagian paling susah dari perpisahan adalah gimana caranya jalanin hari tanpa orang yang udah pisah sama kita.

Tiga tahun lalu, gue cukup mudah beradaptasi dengan hidup di jalanan, naik kolbak hanya untuk berpindah-pindah tempat. Sampai gue cukup nyaman di Jogja dan tinggal di sana sekitar satu tahun. Gue gak pernah merasa sulit hidup tanpa papa, mama atau Ivan—karena gue tahu mereka akan selalu ada, akan selalu hidup.

"Sorry, Ven. Gue denger papa lo meninggal kemarin."

Royan adalah sahabat gue waktu kita kerja di Record Store, bisa dibilang dia antek-antek gue di Bandung. Seseorang yang mantau kehidupan keluarga gue.

Satu kalimat Royan cukup buat gue lari kencang ke tempat yang gak pernah gue jadiin tujuan pulang.

Ke rumah.

"Anjing lo."

Gue denger suara adik gue bergetar waktu gue sampe di tempat yang namanya 'rumah' itu. Ivan mandang gue dengan penuh benci waktu lihat kondisi kakaknya yang lusuh kayak berandalan. Matanya itu mandang gue dengan penuh rasa kecewa. Di belakangnya ada cewek yang gak familiar di mata gue. Itu bukan Lexi.

"Maaf." Gue cuman ngomong gitu dan dia langsung nonjok pipi kiri gue cukup kencang.

"Lo udah gak diterima di rumah ini, anjing."

Gue diam di tempat sambil natap dia dan cewek di belakangnya.

"GUE BILANG PERGI!" Dia ngambil vas bunga di atas meja terus ngelempar ke muka gue. Nekat juga ni bocah. Gue tutup mata gue karena pecahan kacanya berserakan ke mana-mana.

"Ivan!"

Gue denger mama datang, rambutnya dipotong pendek sebahu. Terakhir gue tinggalin, rambutnya selalu dibiarkan panjang.

If We Didn't MeetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang