0. Prolog

4.1K 151 19
                                    

17

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

17.45

Seorang gadis berambut hitam sebahu bernama Narami Sandrinna itu mengerjapkan matanya tak percaya begitu melihat sosok laki-laki yang familiar berdiri di depan pagar jembatan dengan sikut bertumpu pada batasan tersebut. Lelaki itu masih memakai seragam sekolahnya, lengkap dengan dasi dan cardigan biru tua. Matanya menatap kosong ke depan, di mana danau panjang mencerminkan cahaya matahari sore yang begitu indah. Angin berhembus lembut, mengibaskan beberapa helai rambut hitam legamnya.

Tentu, Nara tahu betul siapa sosok yang berdiri termenung di pinggir jembatan kota itu. Bagaimana tidak? Semua orang di sekolah mengenalnya. Si anak sempurna. Kebanggaan sekolah. Kesukaan murid-murid.

Dia adalah Satya Dirgata.

Sosok yang tak tergapai dan juga misterius; tertutup dan tak terbaca.

"Belum pulang?" tanya Nara pada laki-laki tersebut begitu dia melangkah mendekatinya.

Yang dipanggil itu menoleh ke arahnya secara perlahan. Matanya sayu, dan bibirnya membentuk garis datar. Sejujurnya Nara merasa sedikit terkejut dengan fakta bahwa nampak begitu jelas garis hitam yang melingkari bagian bawah matanya.

Nara sudah memakai pakaian bebas karena sekolah pun sudah selesai dari pukul tiga sore tadi. Dia kini dalam perjalanan pulang dari supermarket karena disuruh membeli susu oleh Ibunya. Namun Satya masih menggunakan seragamnya, menandakan bahwa kemungkinan besar dia belum menyentuh rumahnya sama sekali. Hari itu sudah pukul lima sore.

"Lo nggak apa-apa kan?" tanya Nara sekali lagi, kini mulai sedikit khawatir karena Satya yang belum juga berkutik.

"Mati tenggelam... sakit ga ya?" Satya akhirnya berkata pelan.

Angin berhembus kembali. Mata Nara membulat saat mendengar pernyataan itu terlontarkan dari mulut teman sekelasnya sendiri. Dia mengerutkan dahinya.

"Ya sakitlah! Paru-paru lo nanti penuh air. Lo nggak bisa napas. Sesek."

Keheningan mengekori kalimat terakhirnya itu. Untuk sesaat, yang mereka dengar hanyalah suara mobil dan motor yang berlalu di belakang mereka, serta bunyi angin yang halus nan lembut.

Satya kemudian mendengkus dan terkekeh miris. "Apa bedanya dengan sekarang? Sama seseknya. Sama nggak bisa napasnya."

Suaranya begitu kecil hingga Nara kesulitan mendengarnya, namun dia masih dapat mengambil beberapa kata untuk menarik kesimpulan.

Nara mengerutkan kening. "Jangan bilang lo mau lompat tadi?"

Bukannya menjawab, Satya malah terdiam. Lelaki itu membalikkan tubuhnya hingga kini sepenuhnya menghadap Nara. Gadis itu keheranan. Tidak biasanya Satya terlihat serapuh itu. Tubuhnya terlihat lemas, dan bibirnya pucat.

Kaki Satya yang sudah bagaikan jeli itu melangkah mendekati Nara. Kini mereka sudah berjarak hanya sesenti. Nara dapat merasakan jantungnya berdegup kian cepat. Napas pelan Satya dapat dia rasakan di permukaan pipinya.

To the Moon and Back | Sunghoon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang