32. Tanpa Syarat

645 73 10
                                    

Acara keluarga besar diadakan dua kali dalam setahun. Biasanya, mereka akan makan malam di sebuah hotel dan menginap di sana selama satu sampai tiga hari, tetapi kali ini keadaannya sedikit berbeda. Dikarenakan kakek Satya sedang sakit dan harus dirawat di rumah, keluarga anak-anaknya akan berkumpul di rumahnya alih-alih di sebuah hotel.

Kondisi sang kakek tampak begitu mengenaskan. Tubuhnya kurus dan pergerakannya lambat. Dia kini menggunakan kursi roda dan harus membawa tiang infus ke mana pun dia pergi, termasuk pada makan malam hari itu. Tampaknya adiksinya terhadap cerutu mulai memberikan sebuah dampak.

Atmosfer di meja makan bergeser dan terasa jauh lebih menegangkan. Jika bukan karena Sean dan Ghina yang selalu tahu cara meringankan suasana, tidak ada satu pun dari mereka yang akan berbicara. Satya mendapati dirinya sangat bersyukur dengan kehadiran sang adik. Setidaknya, dia hanya perlu fokus pada makanannya dan melewati makan malam tersebut dengan mulus.

Tetapi itu tidak bertahan lama, karena lamunan Satya seketika terbuyar ketika dia mendengar namanya dipanggil--terlebih lagi, dari sosok terakhir yang diharapkannya.

Kakeknya.

Satya perlahan mengangkat kepalanya dari piring ke arah tempat duduk sang kakek. Pipi pria itu semakin tirus dan lehernya berkeriput, tetapi pancaran pada kedua bola matanya begitu gelap. Bahkan boleh dikatakan, dalam keadaan sakit, kakeknya jauh lebih mengintimidasi.

"Aksi kamu bikin heboh satu perusahaan belum lama ini loh," ucap pria itu dengan tenang. Seketika meja makan mereka menjadi sunyi. "Sangat cerdas, karena itu memberikan exposure untuk kita, tapi, caranya salah."

Mengekori kalimat tersebut adalah tawa serak dari sang kakek, namun semua orang di sana tahu bahwa tawa itu mengandung sarkasme lantas tidak ada satu pun yang berani menimpali. Bahkan Sean dan Ghina pun hanya bisa terdiam.

"Satya udah belajar dari kesalahannya," ujar Giro dingin tanpa menoleh ke arah ayah atau putranya. "Dia enggak akan melakukan kesalahan lagi mulai sekarang."

Satya menatap Giro yang duduk di seberangnya, tertegun. Dibela oleh sang ayah adalah hal terakhir yang diantisipasinya, bahkan rasanya terlalu mustahil untuk bisa dicerna.

Tawa Kakek kemudian berhenti. Dia memperhatikan Giro lekat-lekat, sebelum akhirnya tersenyum tipis saat kembali menghadap Satya.

"Oh, ya? Kalau gitu, Kakek bangga sama kamu, Nak! Butuh keberanian untuk mau ngaku salah dan memperbaiki kesalahannya. Pastikan aja, kalau hal semacam ini nggak akan terulang lagi."

Usai makan malam, Satya segera pergi ke kamar mandi dan melonggarkan kerah kemeja putihnya. Entah mengapa, dia kesulitan bernapas dan rusuknya berkedut-kedut sakit sepanjang malam. Tangan kanannya bertumpu pada wastafel di depan cermin sementara tangan kirinya diletakkan di atas rusuknya, berharap bahwa entah bagaimana, rasa sakitnya akan mereda.

Cahaya lampu kamar mandi rumah sang kakek sedikit redup, dan Satya bersyukur akan hal itu sebab sinar terang mana pun pastinya akan membuatnya semakin tidak nyaman. Satya memejamkan mata sembari mengatur napasnya sendiri. Kenapa hal-hal seperti ini selalu terjadi pada makan malam keluarga besarnya itu?

Merasa bahwa bernapas saja tidak cukup membantu, Satya mengeluarkan botol obat penahan sakit dari saku celananya, mengeluarkan dua pil, kemudian menelannya. Dibutuhkan beberapa menit bagi obat tersebut untuk bekerja, maka efeknya tidak langsung terasa. Dia merapikan kembali kemejanya sebelum melangkah keluar dari kamar mandi.

"Lama amat di dalem. Nyebat, ya?"

Satya menoleh cepat ke seberangnya, di mana Nathan tengah duduk menyandar di atas sofa ruang duduk tak jauh darinya. Lelaki itulah yang tadi bersuara.

To the Moon and Back | Sunghoon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang