2. Luka Terselubung

1.2K 123 12
                                    

Satya mendorong kursi roda Sean secara perlahan dan hati-hati menuju kamar tidurnya yang terletak di lantai bawah. Rumah besar mereka sepi karena kedua orang tua mereka masih bekerja. Yang menemani dua saudara Dirgata tersebut hanyalah ART dan Pak Sopir.

Setibanya di kamar, Satya membantu Sean untuk naik ke atas ranjang agar dia dapat beristirahat. Mereka berdua baru saja makan malam bersama sepulang sekolah.

Kini Sean sudah rebahan di atas kasur. Satya tidak langsung pergi, melainkan duduk di tepi ranjang terlebih dahulu untuk menemani Sean sampai tidur.

"Kakak bolos kelas terakhir dong tadi?" kata Sean, seketika merasa bersalah. Dia tahu betul betapa bolos satu kelas saja akan berdampak pada kakaknya.

"Iya, tapi kamu nggak usah mikirin Kakak. Pikirin kesehatan kamu, Se."

"Maaf udah bikin Kakak panik."

Satya mendesah lelah. Tidak ada yang Sean lakukan yang bisa membuat Satya marah. Adiknya seberharga itu untuknya.

Kalau saja saat itu semesta memilih Satya dan bukan Sean, mungkin semuanya akan baik-baik saja, untuk Sean dan kedua orang tuanya.

"Ish, Sean tau muka kayak gitu," gerutu sang adik. "Kak Satya pasti nyalahin diri sendiri lagi kan?"

"Hah?"

Sean peka sekali.

"Kak, yang namanya musibah nggak ada yang tau. Nyalahin diri sendiri nggak akan nyelesain apa-apa. Sean juga udah berdamai dengan situasi ini kok."

Namun Satya tahu Sean masih sering menangis di malam hari, berharap bahwa kakinya kembali normal; bahwa dia tidak harus merasakan rasa sakit yang menggerogoti setiap tidur; bahwa dia masih bisa seperti dulu.

Satya tersenyum tipis. "Tidur yang nyenyak, ya. Kalo ada apa-apa, panggil Kakak atau Bibi."

Sean mengangguk. "Selamat tidur."

Kedua orang tuanya balik dari kerja pada pukul 11 malam. Bibi dan Pak Supir sudah tertidur di kamar mereka masing-masing, namun Satya tetap terjaga di ruang tamu. Alasannya ialah agar dia bisa dengan cepat pergi ke kamar Sean kalau saja adiknya itu meminta tolong. Kamarnya ada di atas, sehingga akan sulit baginya untuk datang secepat mungkin.

Karena itu juga, yang membukakan pintu rumah untuk kedua orang tuanya adalah Satya.

"Sean udah tidur?" tanya Erika, sang ibunda. Wanita cantik dengan tubuh langsing dan wajah yang awet muda. Erika adalah seorang model.

Satya mengangguk perlahan. Dia sudah mempersiapkan diri untuk ini. Setiap Sean kambuh di sekolah, hanya ada satu kemungkinan yang akan datang.

Erika berjalan begitu saja ke kamar Sean untuk menjenguknya, tidak mengubris Satya sekalipun. Tetapi, Satya juga tidak berharap banyak dari sang ibunda.

Plak!

Sebuah tamparan yang sangat keras melayang tanpa aba-aba ke atas pipi Satya. Pipinya seketika terasa kebas. Jantungnya mulai berdegup dengan keras.

Ini dia.

Giro, sang ayah, menatapnya tajam. "Kantor Papa. Sekarang."

Pria itu berjalan melewatinya untuk naik ke atas, menuju kantornya. Satya yang masih terkejut dengan tamparan itu bergeming di ruang tamu. Tangannya sedikit gemetar, dan matanya perih menahan genangan air mata yang hendak tumpah.

Tidak jarang Satya menerima tamparan dari ayahnya sendiri. Namun sampai kapan pun, hal itu tetap membuatnya bergidik ngeri dan menyayat permukaan hatinya tanpa belas kasih.

To the Moon and Back | Sunghoon (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang